MERAUKE DAERAH TRANSMIGRASI NUN JAUH DISANA




Pagi yang cerah, matahari muncul dari timur bersinar terang. Rumah-rumah papan terhampar rapih, tak ada pepohonan yang tumbuh, kering krontang, disana-sini banyak kepulan-kepulan asap bogkahan kayu-kayu raksasa yang terbakar.  Kayu-kayu itu sedikit demi sedikit habis dilalap api, membersihkan lahan desa dari kayu bekas bukaan hutan. Hutan belantara tersebut dibuka dengan alat-alat berat, menjadilah desa baru yang berjajar.


Bapak-bapak dan ibu-ibu bertebaran mencari jatah bantuan dari pemerintah berupa obat-obatan, alat pertanian, peralatan rumah tangga yang dibagikan secara Cuma-Cuma. Kehidupan saat itu benar-benar dimulai dari awal. Tak peduli ia dengan dahulu sebagai apa, namun menjadi warga transmigrasi mau tidak mau harus memulai semuanya dari bawah. Yang giat bisa menikmati hidup sedangkan yang tidak bisa saja kembali ke kampung asal.


Namaku Habib, anak seorang petani kecil didesa Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Kami sekeluarga merupakan salah satu keluarga yang ikut mengadu nasib di perantauan daerah transmigrasi. Tidak hanya keluargaku saja, tapi juga keluarga dari kakek yang lebih dahulu memutuskan transmigrasi ke Merauke-Papua. Ayah memutuskan ikut dengan kakek karena tidak sampai hati melepaskan kakek yang semakin menua hidup jauh dari anaknya. Bismillah, semua nya telah diputuskan dengan matang, sembari ‘mencari ridho Allah’, kata ayahku awal memulai hidup disini.


Kami keluarga yang berasal dari Banyuwangi-Jawa Timur. Meskipun di Banyuwangi banyak sanak saudara, namun keputusan untuk tetap transmigrasi sudah bulat dari ayah. Ridho dari keluarga besar menghantarkan kami meniggalkan pulau jawa dengan suka cita dan semangat perjuangan di tanah perantauan.


Aku meninggalkan Banyuwangi saat masih berusia tiga tahun. Aku belum mengerti apa-apa waktu itu, namun beberapa kejadian masih membekas dibenakku, riuhnya orang-orang transmigran, senda gurau diantara sanak saudara yang melepas kepergian, suasana desa yang kosong, dan ingatan-ingatan lain membuat ku sedih dalam buaian masa lalu. Meskipun begitu tak tampak dari ayah dan ibu bagaimana masa depan keluarga, semuanya mereka sandarkan dengan niat dan tujuan yang ikhlas semoga disini bisa mencari berkah bisa bermanfaat kepada orang lain. Itu kata ayah, yang menyandarkan segala sesuatunya dengan penuh keihlasan kepada Allah, tidak lupa berusaha dan berdoa kemudian tawakkal. Itulah arti hidup menurut ayah, yang merupakan jebolan pesantren salaf di Banyuwangi. Alhamdulillah sembari bertani ayah menjadi guru gaji  kampung di mushola kecil dekat rumah. Ilmu dari pesantren dahulu dapat dimanfaatkan untuk orang lain.


Dalam pergumulan bersama orang-orang transmigran, semua orang secara sendiri-sendiri menempatkan diri sesuai dengan apa yang dimilikinya. Kepiawaiannya dalam bidang tertentu membuat ia bisa menjadi orang terpandang di desa. Mereka yang memiliki background pendidikan agama yang baik akan menjadi tokoh agama, yang sekolah umum menjadi pengurus kampung, dan yang lain menjadi pedagang/ pebisnis mencukupi kebutuhan warga, dan yang mayoritas adalah petani, dimana ayahku juga seorang petani tulen.


Jika aku kembali menyusuri lorong waktu masa lalu ada suka, duka dalam perjalanan hidup ini, apalagi saat awal tinggal di kampung halaman. Semua pengalaman berkesan masih membayang dibenakku. Tahun 1994 menjadi transmigran dari Jawa, berkumpul dengan orang lain yang tidak saling kenal, berkumpul antar suku, kemudian membangun sebuah peradaban lengkap dengan nilai-nilai pedesaan. Kampungku merupakan salah satu kampung dari 4 kampung berderet yang dibangun pemerintah era Soeharto, Jagebob 10, Jagebob 11, Jagebob 12, Jagebob 13, dan Jagebob 14. Masing-masing memiliki nama, sedangkan aku tinggal di Jagebob 10, nama namanya kampung Blandin Kakayo. Jagebob 10, 11 dst merupakan nama desa dari pemerintah untuk memudahkan penyebutan sebelum dihuni masyarakatnya, namun setelah dihuni oleh para transmigran diganti dengan nama Blandin Kakayo. Entah sejarah apa yang melatar belakangi nama itu, namun cukup unik. Entah berapa jumlah persis penduduk saat itu dikampungku, namun yang aku tahu terdiri dari 700 lebih Kepala Keluarga. Jika masing-masing keluarga minimal berjumlah 3 orang saja berarti jumlah keseluruhan adalah 2.100 orang. Saat itu masing-masing keluarga paling tidak berjumlah 4 orang, dengan 2 orang anak. Dapat dibayangkan begitu ramainya saat itu.


Jagebob 10, 11, 12, 13 dan 14 adalah desa yang dibangun serumpun. Jarak masing-masing desa kira-kira 20 KM, terbentang diantaranya hutan-hutan belantara sepanjang jalan. Masih terbilang asri, dimana lahan pertanian yang dibuka oleh pemerintah saat itu masih sebagian kecil dari hutan belantara yang ada. Jika hidup disana bak hidup di alam liar, kami mudah melihat hewan-hewan liar seperti rusa, burung kasuari, kanguru, babi hutan dan lain sebagainya berkeliaran dipinggiran jalan, didekat rumah, dilahan pertanian, dan di drainase.


Masih hangat diingatanku, jalan-jalan kampung saat itu hanyalah jalan tanah merah yang membentang di seluruh penjuru desa. Saat hujan tiba jalan tanah itu menjelma menjadi lumpur yang lengket, dan saat kering atau musim kemarau berdebu luar biasa. Namun bagi kami itu menjadi pemandangan biasa, karena terjadi hampir sebagian besar Distrik di Merauke. Sepanjang mata memandang tak ditemukan aspal menempel di sebagian permukaan jalan. Keadaan ini berlangsung cukup lama, yaitu dari tahun 1994, saat awal transmigrasi  sampai 2016 baru ada pembangunan jalan aspal.


Setelah 22 tahun lamanya barulah ada pembangunan jalan aspal. Perhatian pemerintah pusat dan daerah membuat sebagian besar wilayah Jagebob sulit ekonomi. Penduduk yang besar, memiliki perputaran ekonomi yang besar pula, seharusnya cukup dapat mensejahterakan, namun tidak didukung dengan infrastruktur jalan membuat roda perekonomian kampung serat. Masuk tahun 2000-an satu persatu kepala keluarga mulai kembali ke kampung halaman masing-masing akibat sulitnya mencari penghidupan. Hasil-hasil pertanian mulai sulit disalurkan, pemerintah daerah seolah menutup mata dengan keadaan, solusi hanya solusi yang habis diwacanakan tak kunjung dikerjakan. Aku tahu semua dari orang-orang tua dikampung, bahwa kehidupan semakin menghimpit. Bagi mereka yang memiliki alternatif lain untuk bisa hidup, mereka lebih memilih meninggalkan kampung Jagebob ketimbang harus bertahan lama namun sulit mencari makan. Namun bagi mereka yang tidak punya alternatif lain, mereka tetap bertahan, mau tidak mau harus bertahan. Orang tuaku sendiri merupakan sebagian penduduk yang memilih bertahan karena tidak memiliki alternatif lain, selain itu ayah juga masih optimis kampung akan berkembang maju pada masanya kelak.


Hal lain lagi, di kampung tidak ada listrik PLN. Sebaian besar masyarakat tidak menggunakan listrik untuk kehidupan sehari-hari. Penerangan dirumah menggunakan lampu pelita berbahan bakar minyak tanah. Saat itu, sampai tahun 2.000-an harga minyak tanah 3.000 rupiah per liter. Sebagian besar masyarakat bukan mencari bensin untuk kendaraan bermotornya melainkan minyak tanah yang terjual laris untuk penerangan. Namun ada satu atau  dua orang yang memiliki usaha warung yang mulai berkembang dapat membeli Diesel untuk memberikan penerangan listrik, salah satunya tetangga depan rumahku, pak Umar.


Pengalaman yang paling berkesan adalah saat dimana kami anak-anak kampung dan seluruh masyarakat tumpah ruah menjadi satu untuk menonton TV di rumah pak Umar. TV saat itu langka sekali. Pemilik TV dari seantero kampung hanya seorang saja yaitu pak Umar yang juga punya usaha warung kelontong. Selepas magrib satu persatu mulai berdatangan ke lokasi TV yang tidak lain adalah pelataran depan rumah pak Umar. Dari masing-masing penjuru terlihat  obor-obor mendekati lokasi pertontonan, ratusan orang mulia berkumpul dan siap menonton pertunjukan TV. Tak lupa mereka membawa tikar-tikar untuk dibentangkan sebagai alas duduk. Jam pertunjukan TV dari jam 19.00- 23.00 WIT. Pedagang-pedagang juga menjajakkan dagangan mereka, seperti pedagang bakso, pedagang opak, dan pedagang mainan. Acara TV yang paling digandrungi adalah sinetron. Penggemarnya adalah ibu-ibu kampung. Perbincangan sinetron pun sampai dibawa-bawa di acara rumpi-rumpi saking hobinya. Fenomena nonton itu masih ramai sampai kira-kira tahun 2005, setelah itu mulai beberapa orang membeli TV sendiri.


Bersambung....



0 Komentar: