Pemilu dan Terobosan Teknologi



Pemilu dan Terobosan Teknologi



Pemilu 2019 usai, namun menyisakan perih bagi sanak keluarga  yang ditinggal pergi ratusan petugas pemilu untuk selamanya demi menjalankan tugas demokrasi. Akibat kelelahan mereka menghembuskan nafas terakhirnya. Semahal itukah demokrasi sampai harus melepaskan nyawa manusia?? Seharusnya teknologi dapat hadir memecahkan persoalan.


Sudah barang tentu Pemilu sangat penting, menjadi salah satu instumen demokrasi dalam menentukan siapa pemimpin bangsa. Namun ada hal yang menarik dari pemilu 2019 ini, kali ini pemilu di selenggarakan secara serentak, yaitu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten. Bukan tanpa sebab, Pemilu seperti ini pertama kali diselenggarakan di Dunia dan khususnya di Indonesia. Jika tingkat partisipasi masyarakat mencapai 77,5% lebih maka pemilu dianggap sukses.


Sebagaimana yang diharapkan, pemilu mencapai kesuksesan karena telah melampaui terget lebih dari 77,5%. Pujian dan sanjungan dari negara lain memberikan selamat kepada Indonesia yang telah sukses menyelenggarakan pemilihan umum. Namun demikian, pada akhir nya pemilu ini menyisakan pedih. Banyak petugas yang meninggal yakni mencapai 300 lebih jiwa, dan dua ribuan orang dirawat di rumah sakit akibat kelelahan. Hal ini bukan tanpa sebab, beban kerja yang terlampau berat saat 17 April lalu, hingga 2 x 24 jam nonstop, belum lagi rekapitulasi dikecamatan yang berlangsung hingga berhari-hari disinyalir menjadi penyebab korban berjatuhan.


Sejak jauh-jauh hari sebenarnya KPU sebagai lembaga yang memiliki otoritas terhadap penyelenggaraan pemilu sudah dapat menghitung kemungkinan-kemungkinan teknis yang terjadi, termasuk soal penghitungan suara. Penghitungan suara yang begitu lama, belum lagi masalah salah penghitungan C1, juga waktu rekapitulasi di kecamatan dan lain-lain seharusnya telah direncanakan secara matang dan terencana. Sehingga persoalan teknis yang begitu rumit tidak sampai menelan korban hingga ribuan jiwa. Jika demikian, pemilu sejenis tidak akan digunakan lagi pada pemilu berikutnya. Artinya harus di evaluasi dan dikaji secara lebih mendalam. Alih-alih mengurangi biaya pemilu, justru pemilu mengurangi nyawa petugas pemilu.


Terobosan Teknologi


KPU seharusnya dapat memanfaatkan tekonologi terbaru dalam penyelenggaraan pemilu kali ini. Era 4.0 ditandai dengan mulainya digitalisasi informasi, menyentuh berbagai macam persoalan, bisnis sampai persoalan jaringan social dan pemerintahan dapat diselesaikan dengan kehadiran era digital ini. Pertanyaannya, KPU mau atau tidak?


Anggaran pemilu 2019 mencapai 25,59 Triliun Rupiah. Angka ini tentu bukan angka yang sedikit, namun dengan mekanisme yang serba hamburadul ini seakan mencoreng demokrasi yang tidak berimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan negara. Seharusnya penggunaan anggaran itu dapat dimanfaatkan se-efektif dan se-efisien mungkin.


Dalam dunia birokrasi sejak 2013 digagas system elektronik untuk mendukung kinerja birokrasi DKI Jakarta, yang sebelumnya telah dirintis oleh Pemkot Surabaya yaitu e-budgeting. System elektronik seperti ini adalah terbosan yang tidak lain untuk mempermudah pekerjaan manusia, dari manual menjadi elektronik. Sebagai system, tentu tingkat kesalahan juga amat kecil. Dalam kancah nasional system ini pula mulai diberlakukan, dalam pengurusan pajak, perijinan-perijinan, undang-undang, pengelolaan APBD dan APBN. Artinya kehadiran teknologi membantu pekerjaan manusia.


Serangkaian masalah seperti: (1) Update DPT yang butuh Pencocokan dan Penelitian berkali-kali juga tidak kunjung selesai, dan masih saja ada masalah. Masih saja ada pemilih yang belum terdaftar dalam DPT, atau yang seharusnya tidak ada justru ada; (2) kurangnya surat suara, resiko rusak, kemungkinan sudah tercoblos sebelum waktunya, dan peluang kecurangan lain; (3) sulit dan lamanya penghitungan suara sehingga mengakibatkan petugas kelelahan. (4) Mahalnya biaya penyelenggaraan pemilu, dan lain sebagainya. Serangkaian masalah-masalah tadi dapat diselesaikan dengan terobosan teknologi digital.


Ketersediaan programmer dari praktisi, ahli IT dalam tim-tim riset IT, sokongan dana yang besar merupakan dukungan untuk dapat terwujudnya teknologi pemilu. Bisa saja dibuatkan semacam layar monitor besar, dengan system computer yang canggih, DPT dapat diverifikasi melalui sidik jari yang terdapat di e-KTP. Alat ini nantinya disebar diseluruh 813.000 TPS di Indonesia dengan system pemrograman yang disamakan. Alat ini juga dapat digunakan secara ofline dan online. Jaringan ofline ketika saat pemilihan berlangsung, dan online saat pengiriman data hasil pemilihan ke tingkat nasional. Selain itu, C1 sebagai bukti fisik dapat di print sesaat usai penghitungan elektronik di tiap-tiap TPS, dan ditandatangani oleh semua petugas yang berwenang. C1 yang telah ditandatangani dapat discan dan dikirim manual untuk KPU pusat atau diperbanyak untuk saksi dan pengawas pemilu.

Tentu teknologi seperti ini juga akan menelan biaya yang tidak sedikit, dari mulai pengadaan alat, dan pemrograman system. namun jika dibandingkan dengan kerja manual hal ini tentu sangat membantu sehingga mungkin dapat mengurangi biaya petugas TPS di lapangan.


Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan adanya system teknologi ini adalah:

  • Lebih hemat biaya, sebab pekerjaan petugas semakin mudah tentu akan dapat mengurangi jumlah SDM yang terlibat serta beban kerja petugas pemilu. Selain itu juga tidak perlu lagi mencetak surat suara yang biayanya juga tidak sedikit.
  • Mengurangi resiko dan paluang manipulasi data. System yang terferivikasi melalui sidik jari sebagaimana sudah teridentifikasi melalui e-KTP dengan sangat mudah masuk dan menggunakan hak pilihnya. Sehingga tidak ada suara hantu dalam pemilihan.

  • Mempercepat proses penghitungan. Sebab sesaat setelah usai pemilihan, semua hasil sudah terekap dengan baik yang hampir tidak memungkinkan ada suara palsu, salah hitung, atau kemungkinan suara tidak sah. System tentu tidak mengizinkan suara tidak sah. Adapun data pemilih, memilih apa, system sudah dapat merahasiakannya. Namun data forensic IT dapat diambil ketika ada gugatan pemilu melalui alat ini.
  • Pencocokan dan penelitian DPT akan sangat mudah terupdate dengan system e-KTP yang telah terintegrasi dengan dinas atau kementerian terkait.
  • Mobilisasi dan pengamanan yang cukup mudah. Sebab yang diamankan hanya semacam alat untuk dibagikan di tiap-tiap TPS, tidak sebanyak surat suara, dan sejumlah logistic lainnya.


Meskipun terdapat kelebihan, namun system ini juga terdapat kekurangan, seperti:
  • Pengadaan alat semacam ini tentu tidak murah. Meskipun begitu alat ini akan digunakan untuk pemilu pada tahun-tahun berikutnya, sehingga dapat digunakan berulang kali.
  • Perlu adanya pengenalan cara pemilihan baru, sebagaimana tidak lagi menggunakan cara yang konvensional seperti sebelumnya tentu butuh waktu untuk mensosialisasikannya.
  • Perlu mempersiapkan teknologi ini sejak jauh-jauh hari, mungkin bisa beberapa tahun sebelumnya, dan telah dilakukan serangkaian uji coba system.
  • Rentan hacker. Meskipun rentan terhadap hacker untuk memanipulasi data, system ini dapat diamankan dengan kegiatan ofline saat pemilihan sampai diprint outnya C1 dan ditanda tangani. Sehinga resiko hacker mungkin hanya ada pada saat online pengiriman data. Namun jelas system ini jauh lebih aman ketimbang system konvensional yang tentu memiliki peluang kecurangan disana-sini.


0 Komentar: