Sorot Mata Tajam Itu Dari Jawa


 


Subuh yang cerah. Ranting-ranting pohon yang berjajar dipinggiran jalan tampak merunduk seperti orang yang sedang tidur lelap. Embun pagi terlihat jelas masih menempel di permukaan kaca jendela balkon. Sementara matahari belum terlihat jelas sinarnya. Didalam kubus-kubus yang bertebaran seantero kota Kenitra sudah pasti penghuninya masih mendengkur. Begitulah Maroko kala musim dingin.

Mahasiswa Indonesia pada musim seperti ini yang memang hobinya tukang tidur seolah terdukung keadaan. Ia bisa menghabiskan waktu seharian untuk tidur hingga waktu mulai beranjak siang. Rasa malas bisa berkali-kali lipat. Bagaimana tidak, menyentuh air kamar mandi 2 derajat Celsius membuat tangan dan persendiannya seperti kaku membeku. Jangankan air, menginjak ubin saja ogah-ogahan saking dinginnya. Itulah sebabnya yang punya hobi tidur bisa tidur seharian.

Namun bagi mahasiswa yang teguh prinsipnya, sejak dari rumah berangkat kenegeri orang untuk tujuan belajar, akan tetap konsekwen. Bangun lebih awal, sholat tahajud, membaca kita-kitab dan menelaahnya. Membuat rangkuman-rangkuman dibuku catatan agar mudah dicerna dan dimengerti. Membuat bagan-bagan pemikiran ulama-ulama dan menelaahnya satu-satu. Menghadiri banyak majlis ilmu. Mahasiswa yang demikian ini tidak banyak jumlahnya. Mahasiswa yang benar-benar niat lillahi taala untuk tafaqquh fiddin. Sedang sebagian besar yang lain memilih hanya menghabiskan waktu berlama-lama di negeri orang tanpa hasil apa-apa.

Bertemu Dr. Oumaima

Pagi ini aku ada jadwal bertemu Dr. Oumaima di kampus. Beliau adalah dosen matakuliah Naqd Balaghah. Ia adalah seorang sastrawan dan penyair kerajaan Maroko. Tentu ini adalah suatu keistimewaan tersendiri, menjadi seorang penyair adalah satu keahlian yang amat membanggakan, apalagi bisa menjadi penyair kerajaan. Dan hari ini aku berkesempatan bertemu lebih privat dengan beliau. Minggu lalu aku dipanggil secara pribadi oleh beliau. Saat itu aku memang banyak bertanya dan sesekali mengomentari dunia syair. Aku tidak tau mengapa beliau memanggilku hari ini. Yang aku takutkan adalah beliau merasa tidak dihormati saat menyampaikan materinya dikelas. Mungkin karena aku tampak lebih vocal daripada kebanyakan mahasiswa Maroko asli. Namun sesungguhnya dalam hati kecil tidak ada niatan untuk tidak hormat dengan dosen sehebat beliau. Aku mencoba bertanya dan berkomentar hanya untuk melepaskan pertanyaan yang membulat dikepala ku. 

Jam menunjukkan pukul 07.30. suasana kota Kenitra masih sepi. Kabut-kabut embun masih menyelimuti udara. Kendaraan baru satu atau dua yang keluar kandang. Semnetara para pemilik cafĂ© atau mat’am sudah siap dengan menu andalannya. Biasanya mahasiswa sebelum berangkat ke kampus sambil menuju ke halte bus mereka mampir sebentar ke warung-warung yang menjajakkan makanan khas pagi. Aku biasanya cukup memesan satu roti yang di celup sedikit ke minyak zaitun. Tambahannya adalah susu murni yang hangat. 

Pagi ini aku menunda jadwal sarapan. Pertemuan dengan Dr. Oumaima lebih penting daripada sekedar aktifitas mengisi perut. Jangan sampai terlambat, sebab jika terlambat itu sama saja aku mencoreng wajah mahasiswa Indonesia yang selama ini dikenal dengan keramahannya di Maroko. Masa mahasiswa ramah tapi kalau berjanji bertemu selalu terlambat. Justru seharusnya aku yang datang lebih dulu daripada beliau. Aku yang butuh beliau. Apalagi bertemu seorang penyair hebat secara pribadi itu tidak mudah. Kesempatan ini harus aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengenal lebih jauh dengan beliau. 

Aku berjalan menyusuri pinggiran jalan menuju halte bus. Agak mempercepat langkah. Masih dingin sekali. Shal yang aku lilitkan dileher nampaknya tidak ada fungsinya sama sekali. Kupluk yang aku pakai pun untuk menutupi telinga juga seperti tidak begitu menolong dari dinginnya musim negeri Maroko. Sambil tergopoh-gopoh ku percepat langkah kaki. Dari kejauhan sudah terlihat bus yang biasa menjemput mahasiswa Universitas Ibn Thufail menuju halte. Aku percepat langkah kaki. Sambil ngos-ngosan langsung masuk bus. Udara dingin yang terhirup membuat isi kepala seakan ikut membeku. Di dalam bus mahasiswa Maroko baru sedikit. 

Sesampainya di kampus, langsung aku menghampiri ruangan Dr. Oumaima. Jam pukul 08.03. Terlabat 3 detik. 
“Assalamualaikum” tok..tok. Aku mengetok pintunya.
“Waalaikumussalam.” Jawabnya. Terdengar suara kaki seperti berjalan kearah pintu. 
Ckrekk…. Suara pintu di buka. 

Tampak sosok yang amat kharismatik Dr. Oumaima tepat dihapanku. Spontan sebagaimana kebanyakan mahasiswa Indonesia lain bersalaman dan mencium tangannya, seperti mencium tangan kiyainya. Hampir semua dosen di kampus yang mengenal mahasiswa Indonesia mengenal kami dengan keramahan kepada para guru. Dimana hal demikian tidak banyak dilakukan oleh mahasiswa asli.

Beliau menyambutnya dengan cupika-cupiki sebagaimana tradisi berjabat tangan diseluruh dunia. Di Maroko cupika-cupiki tambahan selain jabat tangan. Sambil berkata lirih “kaif, labas?? Labas?” sapaan orang maroko jika bertemu untuk menanyakan kabar lawan bicaranya. Aku jawab normative saja. Jujur aku masih gugup bertemu sedekat ini dengan beliau. Tak menyangka. Beliau mempersilahkan masuk, sambil menggandeng tangan ku.

Dari kejauhan nampaknya telah ada seorang mahasiswi berbaju serba hitam, berhijab dan bercadar duduk didepan meja Dr. Oumaima. Ia terlihat sudah selesai urusan dengan beliau dan hendak meninggalkan kursinya. Aku berjalan perlahan menuju depan meja Dr. Oumaima sambil melihat kearah wanita itu yang sedang membawa satu jilid kertas dan 2 kitab yang dipeluknya. 
Dengan suara lirihnya aku mendengar wanita itu berpamitan dengan Dr. Oumaima. Mataku belum lepas dari sosok wanita itu. Tiba-tiba sepasang mata agak kebiru-biruan menatapku. Pandangan kami bertemu. Tidak lama. Hanya 2 detik. Matanya indah sekali. Seperti liontin yang sempat aku lihat di pertokoan di Kota Rabath. Sorot matanya tajam. Bulu mata nya lentik. Dan kulit disekitar mata putih bersih. Aku pun langsung menunduk, tak elok rasanya jika bertatapan dengan wanita yang bukan mahrom. Ia pun begitu, sambil meninggalkan ruangan.

Dalam benakku bertanya-tanya siapakah wanita itu tadi. Tentu tidak ada salahnya jika aku menanyakan nya pada Dr. Oumaima.

“Ia adalah mahasiswa muda yang kuliah S3 disini. Dari Indonesia juga, keturunan jawa blasteran perancis, dan saat ini tengah menyelesaikan Disertasinya. Dia termasuk mahasiswa yang berprestasi dan sering bergaul dengan dosen, juga sering mengikuti kegiatan kemahasiswaan, sebagai pembimbing mahasiswa Maroko yang masih S1 ” cerita singkat Dr. Oumaima.

Beliau memanggilnya yaitu untuk keperluan bimbingan Disertasi yang sudah hampir selesai. 

“Mata biru dengan sorotan tajam tadi ternyata orang jawa-perancis. Aktif di organisasi kampus, juga punya prestasi akademik dan dikenal supel dengan dosen-dosen. Sudah S3 pula. Hemm… Menarik. Sedangkan aku baru S1 yang baru mau skripsi.” Gumamku dalam hati. 

0 Komentar: