GURUKU ORANG-ORANG DARI PESANTREN





GURUKU ORANG-ORANG DARI PESANTREN 

{Diambang pintu pesantren} 
Berawal dari kisah seorang anak yang sangat ingin menuntut ilmu agama, di sebuah Madrasah yang baru saja di buka waktu itu, namya madrasah Al-Huda Nahdlatul ‘Ulama yang terletak di kampung terpencil di Sukaraja yang di asuh oleh Ustadz Mursyid. Anak itu bernama Syifuddin Juhri yang tinggal kampung yang bernama kampung Sukaraja yang tidak jauh dari madrasah yang baru berdiri tersebut. 

Namun, keinginan anak tersebut tidaklah langsung terwujud karena biaya pendidikan di madrasah tersebut terhitung besar pada waktu itu, apalagi ia juga masih menuntut ilmu waktu pagi di sekolah ongko loro namanya. Namun berkat bujukan sang ibu kepada ayahnya yang hampir setiap hari mereka membahasnya, akhirnya ayah pun menyetujui agar ia masuk madrasah Al-Huda Nahdlatul ‘Ulama pimpinan Ustadz Mursyid tersebut. Satu hal yang menjadi inspirasi yaitu untuk mewujudkan sebuah keinginan dibutuhkanlah perjuangan yang sangat besar dan juga kegigihan untuk mewujudkannya. 

“Cerita singkat tentang kyai Mursyid” 

Awal mula orang hanya mengenal Mas Mursyid (panggilan beliau waktu itu), pemuda tampan yang datang ke kampungku untuk diambil menantu seorang hartawan (saudagar batik) dikampungku. Awal mula, orang hanya mengenalnya sebagai pesepak bola yang handal. Hampir setiap tim yang ia bela selau menang dan tidak pernah kalah karena saking piawainya dalam bermain sepak bola. Kesehariannya yaitu membantu istrinya berjualan batik di pasar. Aneh dan mengherankan, Mas Mursyid sebagai pedagang batik tidak banyak tingkahnya, melayani pembeli sewajarnya saja dan tidak mahir dalam melayani pembeli. Karena itulah tidak heran jika warungnya sepi dari pembeli. Waktu yang lenggang itu digunakannya untuk membaca kitab istilahnya muthola’ah kitab, sampai banyak orang yang mengatakan “Muthola’ah kitab kok di tengah pasar” karna terheran-heran dengan sikap Mas Mursyis tersebut. 

Setiap sebualan sekali di sukaraja diadakan pengajian khusus. Itu terjadi pada tahun 1928-an. Pengajian khusus untuk para kiyai dari hampir seluruh daerah banyumas, para alim-ulama datang menghadiri pengajian khusus ini kurng lebinya ada sekitar 70 kiyai. Orang awam yang bukan golongan kiyai boleh saja hadir sebagai pendengar. Karena banyaknya alim-ulama yang mengikuti pengajian maka tidaklah mudah untuk mencari seorang kiayi yang dipandang paling jempolan, harus yang palinf alim, teruji kedalaman dan keluasan ilmunya dan juga paling berwibawa. Pada suatu hari terpilihlah seorang ulama yang sepuh yakni K.H. Akhmad Syatibi yang dibebani untuk membaca kitab Tafsir Al-Baidlawi, Hadits Al-Bhukhari, dan Al-Hikam. Bukan sembarang kitab bacaan biasa, karena itu tergolong kitab-kitab referensi. 

Awal mulanya beliau menolak dengan alasan Cuma : saya tidak bisa kok. Lama sekali tawar-menawar, akhirnya beliau menerima itu dengan aklamasi. Namun beliau mengajukan syarat, yaitu minta didampingi oleh 4 orang kiyai diantaranya kiyai Raden Iskandar, Kiyai Ahmad Bunyamin, kiyai zuhdi, dan... Kiyai Mursyid, alias Ustadz Mursyid, alias Mas Mursyid. 

Mas Mursyid!!! Keheranan orang-orang karena mas Mursyid menjadi pendamping kiyai Akhmad Syatibi! 

Kehadirannya dalam pengajian khusus ini saja sudah menimbulkan keheranan. Bagaimana tidak, hadir bukan sebagai “JIPENG (ngaji kuping)” tapai sebagai kiyai yang ikut mengaji. Duduk di deretan kiyai-kiyai besar yang menjadi balagh dalam pengajian itu. Baru belakangan diketahui, bahwa kehadirannya memang diminta oleh kiyai Akhmad Syatibi. Agaknya di seluruh banyumas waktu itu hanya kiyai Akhmad Syatibi yang mengetahui bahwa mas Mursyid adalah ulama. La Ya’rif al-‘Ulama illa al-‘Ulama, tak ada yang mengerti ulama kecuali ulama. 

Dari situlah orang-orang dikampung sukaraja tidak lagi bertanya-tanya tentang tingkahnya yang aneh, pemain sepak bola yang handal tapi lebih memandang mas Mursyid sebagai Kiyai besar atau ulama besar. 


{Madrasahku Cuma langgar/mushola} 


Madrasah al-huda terletak di kampung sukaraja wetan tak jauh dari pendopo kawedanan (rumah kediaman wedana). Madrasah al-huda Cuma menempati sebuah langgar milik mbah haji abdul fattah. Langar kecil dengan ukuran luasnya sekitar 9x12 m, agak jauh kedalam letaknya. Dan semestinya langgar lainnya, disini juga digunakan untuk sholat berjamaah warga sekitar. 

Langgar itu sudah agak tua, didingnya setengah tembok dengan lantai mester (semen putih) dan atapnya dari seng. Didalamnya dibuat tiga petak ruangan, tidak ada bangku dan hanya duduk di lantai dengan meja yang satu meja isinya 3 orang saja, dan hanya ada 3 padasan (tempat untuk wudhu). Kami duduk dilantai dan ustadz mursyid duduk dengan kursi yang berada ditengahnya jadi bisa selalu diawasi pergerakan murid-muridnya. Karna dengan jumlah murid 100 pada waktu itu dan beliau hanya mengajar sendiri, maka wajarlah beliau duduk di kursi agar bisa mengawasi semuanya. 

Tekhnik belajar ustadz mursyid dari tiga kelas tersebut diberikan pelajaran yang berbeda-beda sifatnya. Jika kelas 1 diberikan pelajaran uraian lisan, maka kelas 2 diberikan pelajaran menulis, dan kelas 3 diberikan pelajaran menyalin. Dengan demikian maka beliau dapat mengawasi semuanya tanpa ada yang ketinggalan. 

Disiplin belajar di madrasah tentu tidak datang sekaligus. Ustadz mursyid menanamkan di dada kami para muridnya secara rileks tapi pasti dan meyakinkan. Ditanamkan dalam bentuk ceita, atau semboyan-semboyan yang dihafalkan tiap murid. 

Madrasah ini, sekalipun cuma langgar biasa, benar-benar amat menyenangkan. Aku merasa telah menjadi bagian dari padanya. Aku merasa satu dengannya karena ada perasaan bahwa dia adalah milikku. Banyak hal-hal yang bagiku merupakan masalah baru. Ustadz Mursyid memberikan disiplin yang aku rasakan bukan sesuatu yang dipaksakan. Disiplin itu ditanamkan berangsur-angsur dalam bentuk kisah dan dongeng, cerita dan nasehat, terutama dalam bentuk perbuatan sehari-hari. Dikisahkan bagaimana Nabi Sulaiman alaihis salam dipersilakan memilih oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, salah satu dari 3 perkara. Ilmu, kerajaan, dan kekayaan harta benda. Nabi Sulaiman memilih ilmu pengetahuan. Apa sebab, karena dengan ilmu pengetahuan maka akhirnya Nabi Sulaiman memperoleh kerajaan (kekuasaan) dan kekayaan harta benda. 

Suatu ketika madrasah kami pindah tempat dari sebuah surau atau langgar menempati gedungnya yang baru dibangun. Gedung ini dibangun secara gotong royong di kalangan orang-orang tua murid, setelah dirasakan langgar Kiai Abdul Fatah tidak lagi bisa menampung mund-murid. Setelah dirasakan pula oleh wali-wali murid bahwa anak-anak mereka perlu memperoleh tempat belajar yang lebih layak. Dengan mengumpulkan sebagian harta dari orang tua murid dengan suka rela mengumpulkan hartanya untuk dibuatkan bangunan yang lebih layak untuk anak-anak mereka belajar. Satu kenyataan bahwa Ustadz Mursyid telah berhasil menjadikan masyarakat merasakan bahwa madrasahnya adalah milik seluruh masyarakat. Bahwa masyarakat melekat menjadi satu dengan pesantrennya. Dengan demikian maka masyarakat mempunyai keberanian serta kemampuan untuk memikul segala keperluan madrasah ini, termasuk mendirikan gedungnya yang baru dengan 5 lokal. 

Ada suatu ajaran Nabi Besar Muhammad Saw yang berbunyi: Man lam yasykur an-nasa lam yasykur Allaha, siapa tidak berterima kasih kepada sesama manusia berarti tak berterimakasih kepada Allah. Ajaran ini dipraktikkan Ustadz Mursyid dalam memperlihatkan prestasi anak-anak murid setelah menempati gedung baru, sebagai tanda terima kasih kepada para wali murid. 

Pada setiap akhir kenaikan kelas diadakan penutupan atau Haflah Akhir sanah dimana disini adalah ajang untuk menunjukkan bakat dan prstasi yang dimiliki para santriAl-Huda sendiri. Adapun pesan berharga dari Ustadz Mursyid kepada santri yang telah duduk di kelas yang terakhir, ustadz selalu menanamkan kesadaran, bahwa janganlah merasa sudah cukup apalagi puas dengan pendidikan yang diperoleh dari Madrasah Al-Huda. Dua perkara itu ialah ilmu dan harta. Orang yang benar-benar berilmu tak pernah merasa cukup dengan ilmu yang ia miliki. Demikian pula orang kaya, la tak akan pernah puas dengan kekayaannya, akan mencari dan menambah terus uangnya hingga menemui ajalnya dalam gelimang harta laksana semut mati dalam genangan air gula. 

Setelah tujuh tahun aku meninggalkan madrasah, Suatu hari dalam suasana perang kernerdekaan melawan Belanda, aku mendapat berita bahwa Ustadz Mursyid gugur ditembak Belanda dalam agresi kolonialnya di Banyumas pada tahun 1947. Beliau gugur sebagai pahlawan-syuhada. Gugur dalam tugasnya memimpin Barisan Sabilillah melawan kaum penjajah. 


{Tokoh-tokoh pengabdi tanpa pamrih} 


1. Kiai Khudlori 

Kiai Khudlori guru mengaji kami biasa tiap malam Jum'at memberikan pelajaran kuntao kepada kami, yaitu sehabis kami para murid-murid bersama mengadakan perjanjen.Perjanjen ialah beramai-ramai membaca Kitab Barzanji, sebuah buku prosa dalam sastra Arab yang indah karangan Ja'far Al-Barzanji, yang memuat kisah Nabi Besar Muhammad Saw yang amat mengasyikkan. Secara berganti-ganti kami masing-masing mendapat giliran membacanya hingga satu 'ath-thiril, satu bab. 

Malam Jum'at itu tidak diadakan latihan pencak silat, tapi Kiai Khudlori minta agar perjanjen tetap diadakan walaupun cuma awwal-akhir, diambil bagian awal dan akhirnya saja dengan asyrakal1 di tengah-tengah. Tak baik malam Jum'at tidak perjanjen, kata beliau. 

Malam Jum'at yang aku ceritakan ini tidak ada latihan pencak silat, disebabkan karena Kiai Akhmad Syatibi akan membaca Manaqib Syekh Abdul Qadiral-jailaini di langgarnya di kampung Karangbangkang, 300 m sebelah selatan langgar Kiai Khudlori yang terletak di kampung Kauman. Kiai Khudlori akan hadir di sana bersama santri-santrinya. Membaca kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini lazimnya disebut manakiban. 

Dalam manakiban ini dibacalah kitab kisah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seorang waliullah yang paling kenamaan, Sulthan al-Aulia, lahir pada tahun 471 Hijriah dekat Baghdad. Tidak lupa syekh Akhmad Syatibi menceritakan kisah tentang Syekh Abdul Qadir al-Jailani semasa hidupnya, diantara kisahnya adalah 

  • Bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat senang bergaul dengan rakyat jelata golongan fakir miskin. Orang-orang miskinlah sahabatnya. Dihiburnya orang-orang ini bahwa orang miskin yang sabar lebih utama daripada orang kaya yang syukur. Kesabarannya inilah yang akan membentengi iman di dadanya. 
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat mencintai ilmu, sebab itu beliau pergi ke berbagai pelosok negeri untuk berguru kepada puluhan ulama di zamannya, di bidang Fiqh, 'Aqaid, Tafsir, Adab, Ilmu Thanqat, dan sebagainya. Pelajaran yang diselami puluhan tahun diperoleh dari guru-guru besar yang terkenal di zamannya dan mempunyai urutan yang bersambung dan misalnya Al-Qadli Abi Sa'id al-Mubarak bersambung pada Syekh Abi Hasan 'All bin Abi Yusuf al-Quraisyi hingga Abil Qasim Junaidi al-Baghdadi hingga Abu al-Hasan 'Ali Ar-Ridla, Musa al-Kazim, Ja'far as-Shadiq sampai kepada Muhammad al-Baqir dan Zainal 'Abidin yang langsung dari Sayyidina AH, di mana yang belakangan ini memperolehnya dari Rasulullah Saw. 
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani seorang Waliullah (Wali Allah). 


2. Kiai Akhmad Syatibi 

Tak ketinggalan orang memuji-muji Kiai Akhmad Syatibi. Tidak cuma lantaran cara membacanya begitu fasih, jelas, dan sangat mengesankan, tetapi tokoh ini dipandang sangat tepat membawakan pribadi Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Orangnya begitu andap-asor, rendah hati dan tawadhu sekalipun beliau orang yang terpandang paling banyak dan dalam ilmunya. Wajahnya selalu sumeh, hingga di kalangan masyarakat kami sekampung terkenal suatu pomeo bahwa: orang yang tak bisa marah adalah Kiai Akhmad Syatibi. Keseharian beliau setiap habis subuh beliau mengajar santrinya hingga pukul 8 pagi, kemudian pada pukul 9 beliau berdagang kepasar. Dagangan yang beliau jual adalah perlengkapan dapur atau parabot dapur. Setiap orang melihat beliau berdagang ke pasar selalu mengelus dada, ada rasa kasihan melihat cara beliau menafkahi anak dan istrinya. Namun itulah beliau, dengan kerendahan hati apapun akan dilakukan tanpa rasa malu ketika itu halal untuknya. 

Kiai Akhmad Syatibi adalah profil seorang ulama yang sangat tawadhu, rendah hari. Beliau terkenal 'allamah, orang paling berilmu. Tapi selalu saja menampilkan kiai-kiai lain kalau orang datang hendak belajar. Orang yang mau belajar Ushul fiqh dan Hadits, dipersilakan supaya belajar pada Kiai Akhmad Bunyamin. Kalau mau belajar Tafsir dan Tasawuf dipersilahkan datang kepada Kiai Raden Iskandar. Mau memperdalam bahasa Arab dipersilahkan datang kepada Kiai atau Ustadz Mursyid. Adapun kalau hendak belajar Nahwu dan Sharaf, pergilah kepada Kiai Khalimi. Begitu seterusnya. 

3. Kiai Khalimi 

Kiai Khalimi terkenal sebagai kiai spesialis nahwu-sharaf. Di pesantrennya, belajar bukan hanya anak-anak sekampungku, tetapi juga dari lain-lain daerah. permulaan memakai pedoman Kitab Al jurumiyah, lalu bersambung 'Imrithi danlebih tinggi lagi Alfiyah, ini dia sudah golongan jempolan, membaca kitab gundul sudah ndlendeng saja, meluncur seperti sepeda tanpa rem. Ada yang lebih menarik belajar di pesantren Kiai Khalimi ini. Orang bilang Kiai Khalimi ini orangnya blater, banyak kreasi dan dinamis. Kiai Khalimi memberikan pelajaran keterampilan kepada santri-santrinya di samping pelajaran pencak silat. 

Dalam pelajaran keterampilan, anak-anak diberi tuntutan macam-macam. Belajar jahit-menjahit, bengkel sepeda, gunting rambut, mengetik, membuat leter (Kaligrafi), melukis, membuat kecap dan sirup. Itu waktu memang aneh sekali dan bahkan janggal, mengapa diadakan pelajaran keterampilan. Kadang-kadang kami berpikir di tengah pelajaran ini, kita ini sedang berada di pondok pesantren atau di tempat perusahaan? Tapi Kiai Khalimi selalu tandas jawabnya: He, ini penting. Supaya kaum santri jangan cuma berkeinginan mengambil menantu orang kaya! Maksudnya tentu saja agar kelak kami tidak menggantungkan hidup kami kepada orang lain. 

{ Apresiasi terhadap rasa seni } 
Di kalangan pesantren, nonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertentangkan apa hukumnya, haram atau boleh. Ada pihak yang mengambil sikap tidak boleh, tidak dijelaskan sampai tingkat apa ketidakbolehannya, apakah haram ataukah makruh, dengan dalil karena mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tak ingat kepada Allah haram hukumnya. Lagi pula bercampur baurnya antara penonton pria dan wanita di waktu malam, bisa menjurus kepada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil pendirian boleh, karena konon wayang adalah ciptaan para Wali (Wali Songo) dalam mengasimilasi ajaran Hindu ke dalam Islam. Lagi pula orang bisa mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang Siapa yang suka, nontonlah, siapa yang tak suka, tak usahlah pergi nonton. Sebab itu, di antara kiai dan santri terdapat saling toleransi, saling mengambil sikap nafsi-nafsi, yang suka silakan nonton, dan yang tak suka silakan tidur di rumah. Yang sudah terang, siapa-siapa yang mengambil sikap boleh menonton wayang, mereka nonton sekedar mengambil yang perlunya, hendak mengikuti jalan cerita sesuatu lakon, itu pun pandai-pandai menyaring konklusinya. 

Semua ini sekedar menginsyafi perlunya suatu kehidupan rileks, sebagai apresiasi atau penginsyafan penghargaan terhadap rasa seni di kalangan santri. Kiai sering menginsyafkan kami semua, bahwa rasa seni amat penting, agar kita terdidik oleh perasaan halus, satu faktor penting bila kita telah berada di tengah-tengah masyarakat. Orang yang tak menghargai rasa seni akan menjadi orang yang serba kaku, bahkan bisa menimbulkan sikap kasar dalam tindak-tanduknya. 


{ Memasuki persiapan pengabdian } 


Seperti proses produksi dan marketing dalam dunia usaha, kira-kira begitulah salah satu peranan dari kehidupan pesantren. Santri-santri baru pada datang bermunculan, diproses jadi anak-anak terdidik, dipompa otaknya dengan ilmu, dibentuk karakternya dengan membiasakan latihan diri, lalu memasuki alam marketing untuk meninggalkan pesantren, memasuki kehidupan masyarakat guna mengabdi kepadanya. Tak ada batas berapa lama waktu menghabiskan dalam pesantren. Itu tergantung kemampuan serta kematangan mental santri-santri. 

Setelah lulus dari madrasah al-Huda aku pergi ke solo untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada waktu itu aku diterima di madrasah mamba’ul ‘ulum yang sangat terkenal itu aku diterima di kelas 8, kelas yang tertinggi. Disana aku hanya 2 bulan, karena merasa semua pelajaran sudah didapatkan di madrasah kampungku. Kemudian aku masuk di slafiyah dan disana aku juga masuk dikelas yang tertinggi yaitu kelas 3. Namun dengan alasan yang sama aku hanya menghabiskan waktu 1 bulan disana. 

Aku masuki saja berbagai kursus. Kursus Yournalist aku masuki, kursus-verkooper juga aku masuki. Pertimbanganku, pengetahuan verkooper penting bagi seorang mubaligh untuk bisa mencari "pemasaran" buat menghidangkan Islam kepada masyarakat. Harus mengerti kondisi masyarakat, jiwa masyarakat, organisasi, approach, dan sopan santun. Itu sebabnya aku masuki kursus vcrkooper. 
Dalam mempersiapkan diri memasuki pintu pengabdian, masihlah banyak ilmu dan pengalaman harus dikumpulkan di tangan. Mestilah lebih banyak lagi belajar kepada masyarakat, belajar dari orang-orang baik yang sukses maupun yang gagal. Masyarakat memang pusat pengabdian. Tetapi masyarakat juga tempat belajar. Bahkan masyarakat adalah universitas paling sempurna. Kapan saja, dan untuk siapa saja! 


{ Masih belajar lagi sebelum terjun ke medan pengabdian } 


Zaman beredar, banyak perubahan terjadi, membawa akibat positif dan negarif. Tidak selamanya arus modernisasi membawa kebaikan, Kalau saja dunia ini didiami orang-orang yang sepaham dengan kita, alangkah enaknya hidup ini. 
Benar, bahwa pesantren mempunyai daya tahan menghadapi segala arus yang masuk. Ada semacam pembendung terhadap anasir yang merusak, suatu kekuatan pembendung yang terjadi dengan sendirinya dan unsur-unsur yang dimiliki pesantren. Semacam jaringan refinery atau filter yang menyaring apa yang boleh masuk dan apa yang harus berhenti di gerbang pesantren. 

Benar, bahwa di dalam pesantren para santri dibentengi dan diberi daya kekuatan. Dilatih untuk menjalani cara hidup dengan segala tradisinya yang baik. Akan tetapi pada saat para santri meninggalkan pesantrennya untuk mengurangi kehidupan yang sebenarnya di luar tembok pesantren, mereka sendiri harus tahu bagaimana terjun di tengah-tengah pergolakan masyarakat, harus pandai menimbang mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Mereka memang harus membawa mission pesantren, tetapi mereka harus pula menyadari bahwa masyarakat bukanlah seluruhnya pesantren. 

Seperti halnya kisah penulis yang mungkin sudah malang melintang untuk mencari ilmu, namun untuk lebih terasah lagi butuhlah persiapan yang sangat baik. Diantara kisahnya yang menarik untuk dijelaskan yaitu ketika penulis mendapatkan sepucuk surat dari salah satu tokoh besar dalam peradaban Islam yang hingga sekarang nama beliau cukup familiar ditelinga kita yaitu K.H. Hasyim Asy'ari. Tokoh yang selalu memegang teguh budaya pesantren bagaimana pun kondisinya pada waktu itu. Terkenal dengan nama besar beliau, lantas tidak membuat beliau silau akan hal lain, beliau slalu mempertahankan budaya-budaya santri. Sifat beliau yang ramah dan tawadu itu sekelumit saja yang slalu menempel pada beliau. Dikisahkan pernah beliau didatangi oleh bangsa koloni untuk memberikannya gelar bintang kepala. Namun beliau menolaknya dengan kata-kata yang sangat rendah hati yaitu “Aku takut pada diriku sendiri akan datangnya rasa ujub dan takabur. Aku malu kepada Allah karena aku cuma hamba-Nya yang hina dina!”. Kata-kata yang sederhana namun penuh banyak makna. Dan masih banyak lagi kisah beliau dari mulai bagaimana mengelola dan mempertahankan budaya pesantren hingga besar seperti sekarang ini, sungguh luar biasa. 

Pada akhirnya persiapan sematang apapun, jangan merasa itu semua sudah cukup karena mungkin kita tidak tahu masih banyak hal-hal yang perlu kita pelajari. Seperti yang dikatakan oleh penulis tentang pengalamannya tersebut. Aku merasa sangat kecil sekali jika berhadapan dengan Hadratus Syaikh. Tetapi aku ingin bisa mewarisi salah satu sifatnya, walaupun sekedar yang kecil saja. Padahal aku belum pernah secara langsung menjadi muridnya. Aku belum mendapat kesempatan mondok di Tebuireng. Namun sejak itu aku lebih mantap untuk menganggap bahwa beliau adalah guruku. Aku pelajari kepribadiannya, aku renungkan buah pikirannya, dan aku hendak mengikuti garis kepemimpinannya. Sekalipun berada dalam jarak yang jauh, aku di Jawa Tengah dan beliau di Jawa Timur, namun di hatiku beliau sangatlah dekat, biarpun andaikata di hati beliau aku tidaklah dekat. Waktu yang hanya dua hari di Tebuireng, aku berusaha untuk merekam segala yang aku lihat dan aku dengar, pada saatnya akan kuulang penyimakannya tahap demi tahap, aku jadikan pedoman yang amat berharga pada saat aku memulai ikut terjun ke tengah medan pengabdian. Bukankah semua orang wajib mengabdikan diri? Ya, tentu saja disesuaikan dengan kadar kemampuannya dan kesempatannya yang tersedia. Bismillah hi haulillah,dengan Nama Allah dan dengan mengharapkan pertolongan-Nya! 


{ Menjadi guru } 

Pada tahun 1936, ketika usiaku 17 tahun, aku sudah mulai menjadi guru. Ketika itu aku duduk di kelas terakhir di Madrasah Al-Huda. Sebenarnya belumlah guru betul. Murid-murid tidak seluruhnya memanggilku ustad, banyak juga yang memanggilku dengan namaku. Maklumlah, aku cuma sekedar musa'id, yaitu pembantu guru yang sebenarnya, Ustazd Mursyid guru yang sebenarnya dari Madrasah Al-Huda. Sudah kuceritakan di muka bahwa Ustazd Mursyid mendidik murid-murid kelas teratas menjadi guru, berhubung tiap tahun kelas bertambah. Murid kelas yang terakhir, kelas 5, baru diberi pelajaran bila kelas-kelas di bawahnya telah bubar sekolah. Tentu tidak semua murid kelas 5 dijadikan musa'id, hanya beberapa saja, 4 hingga 5 orang yang dipandang memenuhi persyaratan, dan aku termasuk di antara 5 anak ini. 

Akan tetapi ketika pada permulaan tahun 1938 aku pulang dari Solo dengan menggondol ijasah, aku benar-benar telah menjadi seorang guru. Aku mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama, di Islamitisch Westerse School, dan di Kulliyat al-Muallimin wa al-Muballighin. 

Pekerjaan menjadi guru adalah sangat mulia. Mendidik dan mengajar orang lain, walaupun tak ada sangkut-pautnya dengan hubungan famili, tujuannya ingin membentuk manusia agar menjadi orang yang baik, berbadan sehat, berilmu, dan berakhlak mulia. Dengan jalan mendidik dan mengajar orang lain, dirinya sendiri ikut terdidik dan terajar juga. seorang guru, ia tak pernah mengharapkan bahwa kelak akan memperoleh imbalan jasa dari anak didiknya. Begitu ikhlas ia memberikan didikan dan ilmunya tanpa mengharapkan imbalan jasa. Bahkan ia kaget kalau satu ketika bekas anak didiknya memberikan apa-apa kepadanya. Apa ini? Kok pakai beginian segala? Hal-hal seperti itu muncul dari murid sendiri karena menganggap bahwa sosok yang selalu diteladaninya sudah membuatnnya menjadi tahu akan ilmu pengetahuan. 

keberhasilan tugas seorang guru terletak pada dirinya sendiri. la seharusnya mendidik dirinya sendiri sebelum mendidik orang lain (murid). Di Jawa Tengah, guru diartikan: digugu lan ditiru. Artinya: digugu, dipercaya omongannya. Ditiru, diambil contoh segala perbuatannya. Memang demikian. Seorang guru yang baik ialah jika omongannya didengar dan dipercayai, demikian pula segala tindak lakunya dijadikan panutan oleh murid-muridnya. Kewibawaan seorang guru terletak pada tutur katanya dan perbuatannya sendiri. 

Satu hal yang penulis uraikan bahwa penulis mendefinisikan tujuan pendidikan yang sangat sedrhana namun bermakna luas yaitu “tujuan pendidikan, sekalipun dirumuskan dengan kalimat-kalimat yang panjang, namun dapat diringkaskan menjadi: membentuk manusia! Ini mengandung makna yang luas sekali. Manusia tidaklah sekadar orang. Ada ucapan seorang ahli pikir yang mengatakan: sebegini banyak orang di dunia, tetapi sedikit saja yang bernama manusia. Ucapan ini bisa kita perkecil terbatas pada sekeliling kita sehari-hari bahwa sebegitu banyak orang-orang sekeliling kita, tetapi tidak semuanya pantas disebut manusia!. Memang benar sekali jika kita kaitkan tujuan pendidikan yang sekarang ini sudahlah melenceng jauh. Guru-guru sekarang lebih direpotkan oleh administrasi-administrasi sehingga dalam mengajar kurang fokus untuk mengajar muridnya. Yang mengakibatkan dekadensi moral yang semakin besar. Patut kita teladani bagaimana guru-guru zaman dahulu mengajar muridnya dengan penuh kasih sayang dan juga ikhlas dalam mengajar, sehingga ilmu yang disampaikanpun lebih cepat masuk kedalam murid. Dengan seiring perkembangan zaman sekarang ini, kita harus benar-benar memanfaatkan kemajuan tekhnologi pada khususnya untuk membuat skema pembelajaran yang menarik dan juga bisa cepat diterima oleh pada murid kita. Semoga dengan kemajuan zaman tekhnologi seperti sekarang ini terciptalah guru-guru yang hebat dalam mendidik muridnya sehingga terwujudnya tujuan pendidikan menjadi nyata. Amiiinnn 

{ Tamatnya zaman penjajahan } 
W.J.S. Purwadarminta dalam kamusnya, arti santri atau santeri ialah orang yang menuntut pelajaran Islam (dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan sebagainya). Tetapi kalau diikuti pengertian umum, maka santri ialah mereka yang mempelajari agama Islam, baik yang pergi ke tempat yang jauh maupun dekat dengan niat hendak mengamalkan llmunya, dan hendak menyebarluaskannya. Hasil dari ilmu yang dituntut itu dengan sendinnya mempengaruhi perilaku sehari-harinya. 

Karena yakin akan kebenaran gurunya, mereka meniru laku dan perbuatan gurunya. Ilmu yang diperoleh dari mereka, artinya dari gurunya, dijadikan dasar pola membentuk sikap mental dan watak mereka dalam hidup. Semua ini lantaran dilandasi oleh suatu niat suci dalam hatinya bahwa ilmu-ilmunya memang diyakini kebenarannya serta akandipraktikkan dalam amal sehari-hari. Oleh sebab itu, barang siapa yang mempelajari Islam sekadar untuk diketahui, baik karena tidak meyakini kebenaran Islam, maupun untuk tujuan yang merugikan Islam dan umatnya, maka ia tidak layak untuk disebut santri. Jelaslah bahwa santri adalah mereka yang belajar ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk mengamalkan ilmu yang mereka yakini kebenarannya 100% itu. 

Mereka memusatkan cita-citanya untuk kelak menjadi kiai atau ustadz seperti gurunya, sedang lapangan kerja baginya telah tersedia. Mereka akan menjadi orang masyarakat yang terjun ke tengah-tengah umat. Hampir tidak ada yang terlintas dalam angan-angannya agar kelak menjadi pegawai negeri, pegawai pemerintah jajahan. 

Oleh karena para santri adalah anak-anak rakyat, mereka jadi amat paham tentang arti kata rakyat. Paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat, dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala liku-liku hidup rakyat. Sebagai anak-anak dari rakyat, maka para santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula. 

Rakyat adalah kaum tani, pedagang kecil, tukang-tukang, mereka adalah bapak-bapaknya kaum santri. Rakyat hidupnya serba susah, mereka terbelenggu oleh rantai penjajahan, dan bernasib sebagai anak jajahan. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan. 
Indonesia pada tahun 1940-1942, bagaikan suatu kancah perjuangan yang sedang naik pasang gejolaknya. 

Rakyat menjadi semakin matang untuk memperjuangkan nasibnya lepas dan belenggu penjajahan. Tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan di seluruh persada tanah air. 
Memang dalam sejarahnya Belanda selalu menelikung kita bangsa Indonesia dengan mengikat dan membelenggu kita sambil menjalankan semboyannya alon-alon asal kelakon selama 350 tahun. 

Di kalangan dunia pemuda, di sekitar tahun 1942-an terdapat bermacam-macam organisasi. Ada yang bersifat kepanduan, seperti: "Kepanduan Bangsa Indonesia" (KBI), "Sarekat Islam Afdeeling Pandu" (SIAP), "Hizbul Wathan" (HW), "Nationale-Padvindery" (Natippy), dan lain-lain. Tetapi juga ada yang bersifat gerakan pemuda, seperti: "Surya Wirawan", "Pemuda Gerindo" (Gerakan Rakyat Indonesia), dan "Gerakan Pemuda ANSOR", yang kemudian diubah menjadi "Barisan Ansor Nahdhatul Ulama" (BANU). 

Di kotaku, Sukaraja, sebuah kota kecil di Banyumas, para pemuda hampir semuanya tergabung dalam "Barisan Ansor," "Surya Wirawan," "Pemuda Gerindo", "Hizbul Wathan", dan "Kepanduan Bangsa Indonesia." Akan tetapi, yang paling besar jumlah anggotanya adalah "Barisan Ansor." Mereka terdiri dari hampir seluruh lapisan pemuda. Para santri, tukang gambar, tukang gunting rambut, para pedagang kecil, pemuda tani, buruh pabrik, dan sebagainya. 

permulaan bulan Maret 1942, benar-benar malam kelabu yang rawan. Jalan-jalan tampak sepi dan lengang, rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu. Sudah beberapa hari pemerintah Hindia Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang. Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan. Istilahnya ketika itu LDB, singkatan dari "Lucht Beschermen Dienst" atau dinas penjagaan dari bahaya serangan udara. Tetapi rakyat menafsirkan lampu pejah Bom Dawah (lampu mati dan bom pun jatuh). Rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan harus meminta izin penguasa. Hatta orang mengaji pun harus ada izin. 
Baru tanggal 1 Maret 1942 Jepang umumkan perang dengan Belanda. Ketika itu baru tanggal 3 Maret. Alangkah cepatnya Jepang mendarat di Jawa. Dari berita-berita yang sampai padaku pun mengabarkan bahwa Jepang sudah mendarat di Tuban dan bahkan dekat Semarang. 

Sebuah pesawat terbang Dai Nippon menyebarkan surat-surat selebaran yang menyebutkan bahwa hari iru, 9 Maret 1942, pimpinan angkatan perang Hindia Belanda Mayor Jenderal Ter Poorten telah menyerah kepada Jepang, dan Gubernur Jenderal Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyerah dan ditawan Jepang. 

{ Dibawah penjajahan seumur jagung } 
Sebelum bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia, berbulan-bulan lamanya Radio Tokyo menggemakan lagu kebangsaan kita dalam siaran-siarannya yang ditujukan kepada Bangsa Indonesia. Propaganda Jepang bahwa mereka akan membebaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan sangat menarik sekali. Banyak orang yang terpengaruh oleh cerita dari mulut ke mulut bahwa bangsa yang berkulit kuning akan memerdekakan Indonesia dan penjajahan Belanda, demikian katanya menurut ramalan Joyoboyo. Kini bangsa yang berkulit kuning ini telah datang. 

Begitu bala tentara Jepang yang berkulit kuning menjejakkan kakinya di bumi persada Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya mendengung-dengung memenuhi penjuru Tanah Air, ikut mengelu-elukan kedatangan anak-anak "Matahari-Terbit" sebagai tanda berterima kasih, karena telah membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. 

Untuk beberapa hari saja lagu kebangsaan kita bergema melalui Radio Indonesia yang telah dikuasai Jepang. 

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari kemudian lagu kebangsaan itu dibungkam dari siaran-siaran radio Indonesia, bahkan tidak lagi diizinkan untuk diperdengarkan dalam setiap pertemuan dan upacara apa pun. Sebagai gantinya, Jepang mewajibkan diperdengarkan lagu kebangsaan mereka Kimigayo sebagai lagu wajib dalam siaran-siaran radio, dalam pertemuan-pertemuan dan upacara-upacara. Setiap pagi, siang, petang, dan malam lagu Kimigayo itu berdengung-dengung memenuhi Nusantara kita. 

Daerah kekuasaan Jepang semakin luas, hampir meliputi seluruh Asia Timur dan Tenggara. Mulai dari Korea, Manchuria, Tiongkok, Indo-China, Thai, Burma, perbatasan India, Malaya, Indonesia, Filipina, dan kepulauan di Lautan Pasifik. Darwin, pintu gerbang Australia berkali-kali diserang Hari udara. Dengan demikian tentu saja serdadu Jepang tidak cukup mampu mengawal daerah yang seluas itu. 
Jepang bermaksud untuk menjadikan pemuda-pemuda kita serdadu cadangan, sebagian untuk menjaga kepulauan Indonesia dan sebagian lagi untuk bertempur mendampingi serdadu-serdadu Jepang di Burma, di Indo-China, dan di lain daerah pertempuran. 

Jepang mendekati pemimpin-pemimpin Indonesia, Ir. Sukarno, Dr. Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewan tara, dan K.H. Mas Mansur dijadikan ―Empat-Serangkai‖ mendampingi Pemerintahan Pusat Bala tentara Dai Nippon di Jakarta. 

Pada permulaan tahun 1944 sudah 4 bulan ―Hizbullah‖ terbentuk di seluruh Jawa-Madura. Beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan juga telah terbentuk, walaupun tidak merata. Markas Tertinggi ―Hizbullah‖ berada di Jakarta, dengan Zainul Arifin sebagai panglimanya. Anggota pimpinan yang lain diambilkan dari unsur Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, PSII, dan lain-lain organisasi umat Islam. Beberapa ulama di antaranya K.H.A. Wahab Chasbullah dijadikan penasehat dan pelindung. 

Kian hari situasi baik politik maupun ekonomi dan militer semakin genting. Perasaan anti Jepang semakin meluas di mana-mana. Gerakan sabotase untuk melemahkan kedudukan Jepang digerakkan oleh rakyat di beberapa daerah sampai terjadi pemberontakan-pemberontakan di Indramayu, Singaparna, Cilacap, dan Blitar. 

K.H.A. Wahid Hasyim menggerakkan suatu kampanye ditujukan kepada dunia pesantren dan alim ulama. Kampanye itu bernama Mahadi Nashrillah terdiri 3 fasal: 

  • Tazawuru ba'dhuhum ba'dha, artinya: Saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan. 
  • Tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi as-shabri, artinya: Saling memberi nasehat tentang kebenaran dan ketabahan berjuang. 
  • Riyadhah Ruhaniyah, artinya: Memperdekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya sambil memperbanyak wirid, hizb, dan doa. 

Suatu hari, seorang pemuda Ansor Jakarta, Fatoni, memberitahukan kepadaku bahwa seorang petani bernama Husin akan minta berjumpa dengan K.H.A. Wahid Hasyim. Bertemulah dua orang ini, lama mengadakan pembicaraan. Setelah petani itu pergi, K.H.A. Wahid Hasyim memberitahukan kepadaku bahwa dia adalah Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang. Guru Adam Malik dan Chairul Saleh, katanya. 

Dari berita-berita radio yang dapat kita sadap mengabarkan bahwa beberapa pulau di lautanPasifik sebelah selatan di sekitar Salomon yang diduduki Jepang, satu demi satu jatuh ke tangan Amerika. Jenderal Mc. Arthur panglima Sekutu telah mendekati Filipina. Kepulauan Jepang terutama Tokyo sudah mulai dibom oleh Amerika. Sementara ekonomi dan kekuatan militer Jepang semakin payah, gerakan anti Jepang bertambah meluas di seluruh Indonesia. 

Untuk persiapan menjelang Indonesia Merdeka, daerah-daerah harus disiapkan, baik mental maupun organisasi perjuangannya. Indonesia Merdeka harus direbut di Jakarta, tetapi harus dibarengi secara serentak oleh perjuangan di daerah-daerah, agar Jepang tidak sempat memusatkan kekuatannya, dan agar perhatian Jepang menjadi terpecah-pecah. 

Secara lahiriyah, rakyat Indonesia dalam keadaan sakit dan menderita sangat parah, akibat penindasan penjajahan Jepang selama 3½ tahun. Akan tetapi secara mental dan semangat, daya juangnya semakin dahsyat menyala-nyala. Kepala tidak lagi menunduk, tetapi tegak ke atas dengan mata memandang ke depan melihat suatu harapan besar, bahwa zaman baru akan segera tiba. 

Dengan kondisi jepang yang sudah terhimpit mereka pun pergi meninggalkan tanah air tercinta ketika peristiwa pengeboman nagasaki dan hirosima pada tanggal 9 agustus 1945. Kemudian berkumpulah para tokoh untuk segera membahas tentang kemerdekaan negara kita tercinta Indonesia. Baru pada tanggal 17 agustus 1945 K.H.A. Wahid Hasyim untuk datang ke Jakarta. Beliau adalah Menteri Negara dalam pemerintahan baru yang dibentuk setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. 

Kepada Solichun, pemimpin ―Hizbullah‖ aku pesankan, agar anak buahnya tetap terhimpun dan selamanya dalam keadaan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. 

Aku tinggalkan kotaku menuju Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. 
Allahu Akbar wa lillahi al-hamd! 
Allah Maha Besar, Selamanya Maha Terpuji!!! 


{ Merdeka berarti 1000 perjuangan } 
Minggu-minggu pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah hari-hari yang penuh dengan ketegangan. Indonesia yang mula-mula berwajah cerah penuh tawa, mendadak berubah menjadi Indonesia yang garang meradang menantang, dan berjuang. Jepang hendak menjadikan Indonesia barang inventaris yang harus diserahterimakan kepada Sekutu. Jepang sebagai negara yang kalah perang diharuskan menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia bekas jajahannya. 

Jepang tidak mau menyadari kenyataan bahwa Indonesia telah merdeka. Dia masih beranggapan bahwa kemerdekaan Indonesia baru akan diberikan oleh Jepang bila perang selesai dan Jepang di pihak yang menang. Tetapi bangsa Indonesia telah matang untuk berpikir bahwa Jepang tidak akan menang dalam peperangan, Jepang akan dikalahkan. Sebelum Jepang menjadi taklukan Sekutu, kita siap untuk merdeka. Dan, begitu Jepang menyerah kepada Sekutu, begitu kita menemukan detik-detik yang paling tepat untuk merdeka. Detik-detik di mana terdapat kekosongan kekuasaan. Jepang sudah menyerah, dan sekutu belum tiba di Indonesia. Inilah saat paling tepat untuk memproklamasikan Kemerdekaan, yaitu 17 Agusuts 1945, bertepatan tanggal 17 Ramadhan 1365. 

Sejak Januari 1946, Ibu Kota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Jakarta yang telah dikuasai oleh Sekutu dan NICA tidak memberikan kemungkinan pemerintah Republik menjalankan tugas sehari-hari. 

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas-markas ―Hizbullah-Sabilillah‖. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran. 

Sepanjang jalan utama Malioboro, mendadak menjadi ramai sekali. Begitu banyak pemuda berpakaian seragam beraneka warna lalu-lalang memenuhi jalan ini, yang ketika itu mendapat julukan Broadway-nya Yogyakarta. Mereka adalah anggota TKR (tentara keaman rakyat) dan badan-badan kelaskaran 1000 macam. Kecuali menyandang senapan, juga pedang samurai dan sepatu laras hasil melucuti seragam opsir Jepang. Ada sebuah lagu hasil ciptaan seniman Indonesia yang jadi sangat populer menggambarkan ―Sepanjang Malioboro. 

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan tiba-tiba terhadap daerah Republik Indonesia. Banyak sekali korban di kalangan pejuang-pejuang kita. 
Daerah Republik Indonesia semakin menciut tinggal selebar godong kelor. Daerah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur, dan Gombong (Kebumen) di sebelah Barat dengan Yogya sebagai pusatnya. 

Kota Malang telah jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947. 
Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi ―Hizbullah-Sabilillah‖ Malang ini, sangat mengejutkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron, pemimpin ―Sabilillah‖ Surabaya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari sedang mengajar. Begitu berita buruk itu disampaikan, beliau memegangi kepalanya sambil menyebut Nama Tuhan: ―Masya Allah, Masya Allah!‖ lalu pingsan. Hadratus Syaikh mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah sekali. Utusan Panglima Besar Sudirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari berpulang ke Rahmatullah. Innalil AIlahi wa inna ilaihi roji'un! 

Daerah Republik Indonesia walaupun secara de fakto cuma selebar daun ―kelor,‖ meliputi Mojokerto-Gombong-Ambarawa-Yogya, namun di luar daerah itu, pengaruh Republik tetap bertahan. Rakyat-rakyat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusatenggara, bahkan hingga Irian Barat, mereka tidak pernah bersimpati kepada kekuasaan yang ditegakkan oleh Belanda. Negara-negara bikinan Belanda tidak berdaya karena hati rakyat tetap dikuasai oleh Pemerintah Republik di Yogya.‖ 

Tanggal 18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat alias PKI mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan terhadap kekuasaan Republik Indonesia di bawah pimpinan Sukarno-Hatta. Tanggal 18 September 1948, Front Demokrasi Rakyat alias PKI mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan terhadap kekuasaan Republik Indonesia di bawah pimpinan Sukarno-Hatta. Namun, Hanya kira-kira 2½ bulan pemberontakan PKI dapat ditumpas. 

Bulan Mei 1949, Jenderal Spoor, panglima besar Belanda tewas dalam kecelakaan‖ pesawat terbang. Kaum Republik mengatakan bahwa kecelakaan itu karena pesawatnya ditembak kaum gerilya. 

Kegiatan diplomasi di Dewan Keamanan menghasilkan keputusan agar Belanda meninggalkan seluruh daerah Republik Indonesia. Kemenangan di medan diplomasi ini tak mungkin tercapai jika tidak karena semakin menghebatnya perlawanan kaum Republik terhadap aksi militer Belanda. Taktik perang gerilya membawa kemenangan. 

Sejak bulan Juni-Juli 1949, mulailah pasukan-pasukan gerilya memasuki Yogya dan kota-kota lain wilayah Republik Indonesia. Belanda sudah dibersihkan dari daerah Republik. Menjelang Agustus, kami memasuki kota kembali. Yogya dalam suasana bersyukur, bermandikan cahaya kemenangan, dan kegembiraan. Republik Indonesia tegak berdiri kembali setelah dirobek-robek oleh Belanda. Perayaan 17 Agustus diliputi oleh suasana kegembiraan dan keharuan yang tak mudah dilukiskan dengan kata-kata. 

Aku renungkan juga orang-orang pesantren yang kini masih hidup. Mereka adalah sahabat-sahabatku, tetapi juga guru-guruku. Mereka lahir dari pesantren, dididik, dan dibesarkan oleh pesantren. Menjadi guru, mubaligh, dan pemimpin atas nama pesantren. Berjuang memanggul senjata di saat-saat paling sulit, menghadapi musuh-musuh Republik dan musuh-musuh pesantren. Dan..., lalu menjadi orang-orang politik pun dengan bernafaskan pesantren pula. 

Jabatan-jabatan yang mereka pangku pada saat-saat yang akhir; apakah menjadi anggota parlemen, atau menteri, atau duta besar sekalipun tak pernah dibayangkan sebelumnya, sejak semula bermimpi pun sama sekali tidak. Keinginan dan cita-citanya hanyalah siang dan malam cuma hendak mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala, dan berkhidmah kepada tanah air dan bangsa seusai dengan ajaran pesantren. 
“Dari pesantren mereka datang, dan untuk cita-cita pesantren mereka berjuang” 
Insya Allah!

0 Komentar: