DESAIN MODEL KONSEP KURIKULUM ISLAM





A. LATAR BELAKANG 

Wajah pendidikan Islam kian hari kian penuh tantangan, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang mempengaruhi gerak gaya hidup masyarakat Indonesia. Gaya hidup (life style) masyarakat menjadi buruk ketika tidak diarahkan kepada tujuan dan nilai-nilai keislaman sebagaimana yang diajarkan oleh rosulullah. Sedangkan perkembangan arus informasi digital mempercepat masuknya budaya luar yang biasanya bebas akan nilai-nilai keislaman. 

Tujuan daripada pendidikan Islam bukan saja pada tercapainya pengetahuan, melainkan juga tercapainya nilai ke-Islaman yang luhur tersebut kedalam hati sanubari siswa agar ia memiliki cita rasa terhadap keindahan ajaran Islam serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam tidak menolak perkembangan jaman, justru pendidikan Islam mengakomodir seluruh perkembangan kemudian diarahkan pada nilai-nilai positif. Semua ilmu pengetahuan sebisa mungkin dikuasai, dengan tanpa meninggalkan ilmu-ilmu agama yang amat utama. 

Dalam dunia pendidikan persoalan tidak akan kunjung habis, selalu berkembang dan menantang untuk terus mencari jawaban. Permasalah diatas harus diselesaikan dengan sebuah konstruksi berfikir sebuah model konsep kurikulum pendidikan Islam. 


B. KAJIAN TEORI 



Model konsep kurikulum sangat mewarnai pendekatan yang diambil dalam pengembangan kurikulum. Sebagai kajian teoritis, model konsep kurikulum merupakan dasar untuk pengembangan kurikulum. Atau dengan kata lain, pendekatan pengembangan kurikulum didasarkan atas konsep-konsep kurikulum yang ada. 


1. Kurikulum Subjek Akademis 

Kurikulum subjek akademis merupakan salah satu model kurikulum yang paling tua yang banyak digunakan di berbagai negara. Sesuai dengan namanya, kurikulum model ini sangat mengutamakan isi (subject matter). Isi kurikulum merupakan kumpulan dari bahan ajar atau rencana pembelajaran. Tingkat pencapaian atau penguasan peserta didik terhadap materi merupakan ukuran utama dalam menilai keberhasilan belajar siswa.[1] Oleh karena itu, penguasaan materi sebanyak-banyaknya merupakan salah satu hal yang diprioritaskan dalam kegiatan belajar mengajar oleh guru yang menggunakan kurikulum jenis ini. 

Ditinjau dari isinya mengklasifikasikan kurikulum model ini menjadi empat kelompok besar.[2]

a. Correlated currikulum. 

Kurikulum ini menekankan pentingnya hubungan antara organisasi materi atau konsep yang dipelajari dari satu pelajaran dengan pelajaran yang lain, tanpa menghilangkan perbedaan esensia dari setiap mata pelajaran. Dengan menghubungkan beberapa bahan tersebut, cakupan ruang lingkup materi semakin luas. Kurikulum ini didesain berdasarkan pada konsep pedagogis dan psikologis yang dipelopori oleh Hearbat dengan teori asosiasi yang menekankan pada dua hal, yaitu konsentrasi dan korelasi (Ahmad:1998,131). Sebagai ilustrasi sederhana, setiap orang pernah mendapatkan konsep 2 x 50, yang jika dihitung menghasilkan 100. Hal ini bisa dihubungkan dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. 


b. Unified atau Concentrated Currikulum. 

Sesuai dengan namanya, kurikulum jenis ini sangat kental dengan disiplin ilmu. Setiap disiplin ilmu dibangun dari berbagai tema pelajaran. Pola organisasi bahan dalam suatu pelajaran disusun dalam tema-tema dalam pelajaran tertentu. Salah satu aplikasi kurkulum saat ini terdapat pada pembelajaran yang sifatnya tematik. Dari satu tema yang diajukan misalnya ”lingkungan“ selanjutnya dikaji dari berbagai disiplin ilmu misalnya, sain, matematika, sosial dan bahasa. 


c. Integrated Currikuum. 

Pola organisasi kurikulum ini memperhatikan warna disiplin ilmu. Bahan ajar diintegrasikan menjadi satu keseluruhan yang disajikan dalam bentuk satuan unit. Dalam satu unit terdapat hubungan antara pelajaran serta berbagai kegiatan siswa. Dengan keterpaduan bahan pelajaran tersebut diharapkan siswa mempunyai pemahaman materi secara utuh. Oleh karena itu, inti yang diajarkan kepada siswa harus memenuhi kebutuhan hidup dilingkungan masyarakat. Ahmad (1998,39) mempunyai ciri-ciri kurikulum ini sebagai berikut:

  • Unit haruslah merupakan satu kesatuan yang bulat dari seluruh bahan  pelajaran. 
  • Unit didasarkan pada kebutuhan anak, baik yang pribadi maupun sosial serta yang bersifat jasmani maupun ohani. 
  • Unit memuat kegitan yang berhubungan dengan kehidipan sehari-hari. 
  • Unit merupakan motifasi sehingga anak dapat berkreasi. 
  • Pelaksanaan unit sering memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan percobaan atau perolehan pengalaman yan membutuhkan waktu yang lama. 

d. Problem Solving Curriculum


Hal ini berisi tentang pemecahan masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pengetahuan serta keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. 

Pada kurikulum model ini guru cenderung dimaknai sebagai seseorang yang harus “ digugu “ dan “ ditiru “. Menurut Idi (200:126), ada empat cara dalam menyajikan pelajaran dari kurikulum dengan model subjek akademis. 

Materi disampaikan secara hierarkhi naik, yaitu materi disampaikan dari yang lebih mudah hingga ke materi yang lebih sulit. Sebagai contoh, dalam pengajaran pada jenjang kelas yang rendah diperlukan alat bantu mengajar yang masih kongkret. Hal ini dilakukan guna membentuk konsep riil ke konsep yang lebih abstrak pada jenjang beriikutnya. 

Penyajian dilakukan berdasarkan prasyarat. Untuk memahami suatu konsep tertentu diperlukan pemahaman konsep lain yang telah diperolehatau dikuasai sebelumnya. 

Pendekatan yang dilakukan cenderung induktif, yaitu disampaikan dari hal-hal yang bersifat umum menuju kepada bagian-bagian yang lebih spesifik. Urutan penyajian bersifat kronologis. Penyajian materi selalu diawali dengan menggunakan matari-materi tedahulu. Hal ini dilakukan agar sifat kronologis atau urutan materi tidak terputus. 

Tujuan dan sifat mata pelajaran merupakan dua hal yang mempengaruhi model evaluasi kurikulum subjek akademis (Sukmadinata, 2005:85). Ilmu yang termasuk kategori ilmu-ilmu alam mempunyai model evaluasi yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. 

Kurikulum ini bersumber pada pendidikan klasik. Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa seluruh warisan budaya yaitu, pengetahuan, idi-ide, atau nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi untuk memelihara, mengawetkan dan meneruskan budaya tersebut kepada genersi berikutnya, sehingga kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Oleh karenanya kurikulum ini lebih bersifat intelektual. 


2. Kurikulum Humanistik. 
Sesuai dengan namanya kurikulum humanistik lebih mengedepankan sifat humanisme dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan sebagai reaksi terhadap kurikulun yang terlalu mengedepankan intelektualitas. Kurikulum model humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik, diantaranya adalah Neal (1977). 

Kurikulum humanistik didasarkan pada aliran pendidikan humanisme atau pribadi.[3] Aliran pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa peserta didik adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Peerta didik adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan, yang mempunyai potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. 

Prioritas pendekatan ini adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap tanggapan minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa. Pendekatan ini berpusat pada siswa dan mengutamakan perkembangan unsur efeksi. Pendidikan ini diarahkan kepada pembina manusia yang utuh, bukan saja segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afeksi (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain). Hal ini mendatangakan bahwa pendekatan ini berpegang pada prinsip peserta didik merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. 

Penganut model kurikulum ini beranggapan bahwa siswa merupakan subjek utama yang mempunyai potensi, kemampuan dan kekuatan yang dikembangkan. Hal ini sejalan dengan teori Gestalt yang mengatakan bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh (Sukmadinata:2005,86). 

Pendidikan yang menggunakan kurikulun ini selalu mengedepankan peran siswa di sekolah. Dengan situasi seperti ini, anak diharapkan mampu mengembangkan segala potensi yang dimilikinya pendidikan dianggap sebagai proses yang dinamis serta maerupakan upaya yang mampu mendorong siswa untuk bisa mengembangkan potensi dirinya. Karena itu, seseorang yang telah mampu mengaktualisasilan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan perkembanagan diri dari aspek kognitif, estetika, dan moral. 

Kurikulum humanistik merupakan kurikulun yang lebih mementingkan proses daripada hasil. Sasaran utama kurikulum jenis ini adalah bagaimana memaksimalkan perkembangan anak supaya menjadi manusia yang yang mandiri. Proses belajar yang baik adalah aktivitas yang mampu memberikan pengalaman yang bisa membantu siswa untuk menembangkan potensinya. Dalam evaluasi guru lebih cenderung memberikan penilaian yang bersifat subjektif. 

Sukmadinata (2005:87) mengklasifikasikan pendidikan humanistik menjadi 3 macam yaitu: 
  • Pendidikan konfluen
  • Pendidikan kritikisme radikal
  • Mistikisme modern
Dari ketiga aliran tersebut akhirnya berkembang tiga macam jenis kurikulum sesuai dengan konsep dasar yang dianut oleh aliran tersebut. 

Ahli pendidikan konfluen berupaya menyatukan segi afektif dan kognitif dalam kurikulum. Pendidikan harus mampu memperoses secara utuh kedua aspek tersebut. Dasar dari kurikulum ini adalah teori Gestalt yang menekankan keutuhan dan kesatuan secara keseluruhan. Ada lima hal yang mencirikan kurikulum konfuensi, yaitu partisifasi, integrasi, relavasi, pribadi anak dan tujuan. 

Isi pendidikan dalam model konfluen ini diambil dari dunia siswa sehingga sesuai dengan kebutuhan pribadi anak. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan satu kegiatan yang bersifat pengembangan pribadi atau aktualisasi segala potensi setta pribadi secara utuh. Pengembangan pribadi yang utuh merupakan tujuan utama dari pendidikan ini. 

Aliran pendidikan kritikisme radikal memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak dalam menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi dirinya. Dengan hal ini upaya peningkatan pengembangan dirinya bisa belajar secara optima. Proses pendidikan cenderung dilakukan secara demokratis dan tidak ada pemaksaan. Pemberian rangsangan atau dorongan ke arah perkembangan merupakan dua hal yang diutamakan. 

Langkah-langkah penyusunan urutan kegiatan dalam pengajaran yang besifat efektif menurut Shiflett (1975 dalam sukmadinata, 1997) adalah sebagai berikut: 
Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat, atau perhatian tertentu. 
  • Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahas dalam setiap kegiatan. Di dalamnya tercakup topik-topik, bahan, serta kegiatan belajar yang akan membantu peserta dalam merumuskan apa yang akan mereka pelajari. 
  • Pelaksanaan kegiatan, para peserta diberi pengalaman yang menyenangkan baik yang berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan. 
  • Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan hasil serta upaya tindak lanjut. 

Evaluasi dalam kurikulum ini mengutamakan proses dinandingkan dengan hasil. Karena itu, dalam kurikulum humanistik tidak ada kreteria pencapaian karena sasarannya adalah perkembangan peserta didik supaya menjadi manusia yang terbuka, lebih berdiri sendiri. Penilaiannya bersifat objektif. 


C. Kurikulum Rekontruksi Sosial 

Sesuai dengan namanya, kurikulum ini memiliki hubungan dengan kegiatan kemasyarakatan yang di dalamnya terdapat kegiatan interaksi. Kurikulum ini dikembangkan oleh aliran interaksional. Pakar di bidang ini berpendapat bahwa pendidikan merupakan upaya bersama dari berbagai pihak untuk menumbuhkan adanya interaksi dan kerja sama. 

Tujuan utama kurikulum jenis ini adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat menghadapi tantangan, termasuk di dalamnya ancaman dan hambatan. Tantangan dianggap sebagai bidang garapan salah satu disiplin ilmu, namun perlu juga di dekati dengan ilmu-ilmu lain. 

Dalam praktiknya, perancang kurikulum terkonstruksi sosial selalu berusaha menyelaraskan antara tujuan nasiaonal dengan tujuan siswa. Kerjasama antarindividu maupun kelompok merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam pengajaran yang menggunakan kurikulum jenis ini. Dengan demikian, kompetisi antarindividu maupun kelompok bukan hal yang diprioritaskan. 

Ahli kurikulum yang berorientasi pada kemajuan di masa yang akan datang menyarankan pentingnya kurikulum yang difokukan pada hal yang terkait dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. 

Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional, yang bertolak dari pemikiran manusia sebagai mahluk sosial. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan berintikan kerjasama dan interaksi. Dengan demikian, kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problem-problem yang dihadapi masyarakat. 

Tujuan dan isi kurikulum ini setiap tahun bisa berubah, tergantung dari perubahan masyarakat. Dalam pemilihan metode guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Dalam kegiatan evaluasi siswa dilibatkan, terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. 


D. Kurikulum Teknologis 

Terdapat korelasi yang positif antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan akan berdampak positif terhadap teknologi yang dihasilkan. Demikian pula sebaliknya, kemajuan teknologi juga berpengaruh besar terhadap perkembangan model konsep kurikulum.[4]

Sukmadinata (2005:97) menyatakan bahwa ciri-ciri kurikulum teknologis dapat ditemukan pada empat bagian yaitu pada tujuan, metode, organisasi bahan, dan evaluasi. 

Ciri-ciri kurikulum teknologis antara lain: 
  • Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku hasil belajar yang dapat diukur. Tujuan yang masih bersifat umum dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih kecil (tujuan khusus), yang di dalamnya terkandung aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. 
  • Metode pengajaran bersifat individual. Setiap siswa menghadapi tugas sesuai dengan kecepatan masing-masing. 
  • Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar yang besar disusun dari bahan ajar yang lebih kecil dengan memperhatikan urutan-urutan penyajian materi dalam pengorganisasiannya. 
  • Evaluasi dilakukan kapan saja. Ketika siswa telah mempelajari suatu topik/subtopik, ia dapat mengajukan diri untuk dievaluasi. Fungsi evaluasi ini antara lain sebagai umpan balik: bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (formatif), bagi program semester (sumatif), serta bagi guru dan pengembang kurikulum. Bentuk evaluasi umumnya obyektif tes. 

Seperti halnya model yang lain, model kurikulum ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Program pengajaran yang menggunakan alat-alat yang berbau teknologi, khususnya teknologi terbaru, secara umum lebih menyenangkan dan terkesan up to date. Dari sisi pelaksanaannya, program pengajaran ini sangat mengedepankan efisiensi dan efektivitas. Dengan model pengajaran seperti ini, standar penguasaan siswa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. 

Model kurikulum teknologis dikembangkan berdasarkan pemikiran teknologi pendidikan. Model ini sangat mengutamakan pembentukan dan penguasaan kompetensi, dan bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya dan ilmu seperti pada pendidikan klasik. Model kurikulum teknolgi berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang, sedangkan pendidikan klasik berorientasi pada masa lalu. Kurikulum ini juga menekankan pada isi kurikulum. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih kecil sehingga akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur. 


C. KOMBINASI KURIKULUM: DESAIN MODEL KONSEP KURIKULUM ISLAM 

1. Pengertian dan Desain Model Konsep Kurikulum Kombinasi 

Model konsep kurikulum subjek akademis, kurikulum humanistik, kurikulum rekonstruksi sosial, dan kurikulum teknologi memiliki perbedaan mendasar tentang tujuan utama. Penekanan terhadap tujuan dapat tergambarkan dari nama masing-masing kurikulum. Lalu bagaimana merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam terbaik saat ini? 

Desain model konsep kurikulum kombinasi adalah penggabungan beberapa konsep kurikulum pendidikan untuk diarahkan menjadi solusi problematika serta jawaban terhadap persoalan yang tengah dihadapi. Dari masing-masing kurikulum yang terpisah memiliki kekuatan dan kelemahan, dengan penggabungan ini diharapkan masing-masing jenis konsep kurikulum saling melengkapi satu dengan yang lainnya. 

Menurut kaca mata penulis, Indonesia membutuhkan satu konsep kurikulum baru. Indonesia memiliki kehidupan yang unik, berbeda dengan negara-negara maju dan berkembang di belahan dunia manapun. Misalnya saja budaya kita, dimana sejak dahulu mengajarkan hubungan erat antar manusia melalui gotong royong, inilah yang disebut nilai-nilai sosial. Dengan gotong royong pekerjaan yang berat akan menjadi lebih ringan, demikian juga mencapai cita-cita untuk kepentingan bersama maka harus dilakukan juga secara bersama-sama. Hal ini mengajarkan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan pada pembentukan nilai-nilai kebersamaan, sekaligus harus memiliki dampak sosial. 

Pendidikan Islam seyogyanya dapat memperbaiki umat dari segala macam keterpurukan. Tujuan yang ingin dicapai adalah tujuan bersama untuk mencapai sebuah kemajuan secara bersama-sama. Maka pola yang harus diperbaiki adalah relasi-resali sosial yang harus dijalin kembali. Dapatkah antar tetangga memecahkan masalah mereka masing-masing?[5]Elemen yang dapat dipergunakan dalam membangun hal itu melalui pendidikan yang diterjemahkan dalam kurikulum rekonstrusi sosial. Kurikulum rekonstruksi sosial dapat diarahkan pada pembangunan karakter peserta didik yang berkemajuan dengan tolak ukur keberhasilan pada pembangunan aspek sosial kemasyarakatan. 

Dengan tanpa mengesampingkan penguasaan materi maka kurikulum harus memiliki tujuan agar peserta didik dapat mengeksplorasi materi melalui pengembangan kurikulum subjek akademis. Kurikulum subjek akademis lebih spesifik menggunakan model kurikulum terintegrasi (intigated curriculum), yaitu mengintegrasikan kurikulum pengetahuan umum dengan kurikulum pencapaian aspek religius, sebagaimana yang tertuang dalam kurikulum karakter 2013. 

Tujuan pendidikan secara mendasar ingin membentuk manusia yang seutuhnya (insanun kamil) maka aspek lain yang harus diperhatikan adalah sisi kemanusiaan. Dalam diri manusia terdapat berbagai macam potensi, baik potensi buruk dan potensi menjadi manusia baik. Dalam proses pembelajaran kurikulum pembelajaran harus dapat diarahkan pada pembentukan diri dengan memperhatikan sisi perkembangan, bakat minat, dan psikologi siswa sebagai manusia. Segala proses pembelajaran harus memiliki nilai yang dapat mengajarkan untuk bersikap bijak pada sesuatu. Ranah kurikulum ini bukan pada kognitif melainkan ranah afektif. 

Untuk dapat mengarahkan kurikulum tersebut, harus menggunakan model kurikulum humanistik. Setiap guru dituntut untuk bisa mendeteksi bakat, potensi dan kelebihan-kelebihan anak, sehingga anak sejak usia atau jenjang sekolah tertentu dapat dimasukkan di jurusan yang disukai. Inilah salah satu tugas guru yaitu mendengar pandangan realitas peserta didik secara komperhensif.[6] Melalui kurikulum ini guru juga dituntut melakukan sentuhan-sentuhan rohani tentang berkehidupan, yang semuanya hanya ditujukan mencari keridhaan Allah Swt saja. Karena dengan sentuhan hati, secara manusiawi akan tumbuh rasa kasih sayang, kelembutan dan peneriman terhadap sesuatu dari guru, sehingga apapun yang dikatakan dan dicontohkan oleh guru dapat diterima dengan baik. 

Oleh karena tugas guru sangat erat kaitannya dengan psikologi manusia, sehingga guru harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang ilmu psikologi. Dengan Ilmu psikologi memudahkan guru untuk melakukan pendekatan emosional kepada siswa yang nantinya bisa menggali lebih dalam apa kebutuhan belajar siswa. 

Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum terbaik untuk pendidikan Islam adalah kurikulum kombinasi antara subjek akademik, kurikulum rekonstruksi sosial, dan kurikulum humanistik. Secara sederhana dapat digambarkan seperti tabel berikut: 


Konsep 
Tujuan 

Rekonstruksi Sosial 
Dapat memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan 

Subjek Akademis 
Menekankan pada penguasaan materi 

Humanistik 
Mengajarkan nilai-nilai dengan memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan sebagai manusia pembelajar. 


2. Terapan Desain Model Konsep Kurikulum Kombinasi 

Untuk dapat menerapkan konsep kurikulum rekonstruksi sosial, subjek akademik dan humanistik secara bersamaan tentu tidak mudah. Beberapa hal yang harus dijabarkan adalah bagaimana pendekatan pembelajarannya, bagaimana strategi yang digunakan, bagaimana metodenya dan bagaimana tekniknya hingga bagaimana melakukan evaluasi. 

Secara garis besar pendekatan yang paling baik diambil adalah pendekatan contextual learning dan pendekatan proses. Keduanya dapat digunakan secara bersamaan. Melalui pendekatan contextual learning diharapkan siswa dapat mengetahui permasalahan-permasalah terkini, tantangan, dan berbagai macam persoalan dimasyarakat. Siswa dapat pula mencoba menawarkan pemecahan masalah sebagai sikap diri dan ide untuk keluar dari masalah. Jika dihubungkan dengan konsep kurikulum, pendekatan ini sangat cocok dengan kurikulum rekonstruksi sosial, dimana kurikulum tersebut konsen pada permasalahan yang ada ditengah-tengah masayarakat. 

Sedangkan pendekatan proses dimaksudkan untuk memberikan proses pembelajaran yang berarti bagi siswa, sebab dalam proses itulah terdapat makna pendidikan, pengajaran nilai, serta sikap kepribadian. Proses pembelajaran harus didorong untuk pendaya gunaan seluruh komponen pendidikan memberikan pengalaman berkesan kepada siswa untuk diarahkan pada tujuan yaitu penguasaan materi, respek terhadap masalah sosial, dan memperhatikan sisi kemanusiaan sebagai pembelajar. 

Strategi pembelajaran yang dapat digunakan adalah strategi afektif, dimana strategi ini lebih berkaitan tentang nilai yang sulit diukur. Stretegi ini khusus digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral melalui proses pembelajaran. Sehingga pengajaran yang yang kuat akan pengajaran nilai, dengan memberikan contoh, nasehat yang baik akan dapat meresap kedalam jiwa anak. Adapun metode dapat menggunakan metode tugas dan metode latihan. Tugas dapat juga berupa tugas yang dapat di lihat dan dinilai seperti membantu orang tua di rumah, membiasakan shalat, membaca al-qur’an dan lain sebagainya. 

Selain itu juga dapat menggunakan strategi ekspositori, dimana stretegi ini tidak dapat lepas begitu saja. Peran seorang guru sangat penting dalam pembelajaran, termasuk saat menerangkan materi. Tujuan pada model konsep kurikulum subjek akademik adalah pada penguasaan materi, sehingga keterangan verbal seorang guru memiliki posisi yang amat penting, meskipun tidak harus mendominasi pembelajaran melainkan melakukan kombinasi dengan diskusi, eksperimen dan lain sebagainya untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan. 


D. Kesimpulan 

Desain model konsep kurikulum kombinasi adalah penggabungan beberapa konsep kurikulum pendidikan untuk diarahkan menjadi solusi problematika serta jawaban terhadap persoalan yang tengah dihadapi. Dari masing-masing kurikulum yang terpisah memiliki kekuatan dan kelemahan, dengan penggabungan ini diharapkan masing-masing jenis konsep kurikulum saling melengkapi satu dengan yang lainnya. 



Daftar Isi 

  • Sukmadinata, Nana syaodin. 2009. Pengembangan kurikulum, Bandung: PT Remajarosdakarya 
  • Subandijah. 1990. Kurikulum Sebuah Pengantar Komperhensif, Jakarta: Radar Jaya Offset. 
  • Sukmadinata, Nana syaodik. 1998. Prinsip dan landasan pengembangan kurikulum, Jakarta: PT Rosdakarya. 
  • Hamalik, Oemar, 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. 


[1] Nana syaodin sukmadinata. Pengembangan kurikulum, Bandung: PT Remajarosdakarya, 2009, Hal. 81. 

[2] Subandijah, Kurikulum Sebuah Pengantar Komperhensif, Jakarta: Radar Jaya Offset, 1990, Hlm. 3 

[3] Oemar hamalik, Dasar-dasar pengembangan kurikulum. Bandung: PT Remaja rosdakarya, 2007, Hal. 144. 

[4] Nana syaodik sukmadinata, Prinsip dan landasan pengembangan kurikulum, Jakarta: PT Rosdakarya, 1998, Hal. 88. 

[5] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, Hlm. 147 

[6] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, Hlm. 144

0 Komentar: