BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia diciptakan melalui
proses primordial yaitu diawali dengan diciptakannya nabi Adam A.S. Dalam
proses perkebangan berikutnya barulah melalui proses biologis. Proses demi
proses penciptaan manusia yang berawal dari tanah liat yang hitam dan busuk itu
tentunya tidak memiliki nilai apa-apa jika dipandang dari sisi materi. Namun
jika kita melihat manusia sebagai materi yang juga didalamnya terdapat
unsur immateri (ruh) maka maknanya akan berbeda dan tentunya lebih
tinggi nilainya.
Manusia ditugaskan dimuka
bumi sebagai khalifah.
Manusia dengan segala macam potensinya berupa daya akal yang diberikan
kepadanya diharapkan mampu mengelola bumi, menciptakan peradaban-peradaban,
membangun dan mengembangkan keilmuan dan lain sebagainya. Namun manusia juga
memiliki tantangan, yaitu dengan diberikannya nafsu sering kali manusia lupa
dan melakukan banyak kemaksiatan yang justru tidak mensejahterkan bumi, bukan menciptakan
kebudayaan-kebudayaan malah justru melakukan pengerusakan.
Dalam mata kuliah filsafat
pendidikan Islam, khusus pada pembahasan “Hakikat Manusia Dalam Perspektif
Islam” kita akan mendalami apa yang dimaksud dengan manusia itu, baik ditinjau
dari pengertian secara harfiahnya dan pengertian secara luasnya. Selain itu
juga kita akan mengupas bagaimana proses penciptaan manusia, sehingga dengan
kita mengetahui prosesnya kita dapat memaknai manusia lebih dari sekedar
seonggok daging dan tulang yang berjalan. Terdapat makna-makna filosofis yang
mendalam artinya. Membutuhkan perenungan tentang hakikat manusia, agar kita
mampu mengejawantahkan ketinggian nilai manusia dalam mensejahterakan bumi, dan
mengambil peranan-peranan penting.
Masalah yang tumbuh dalam
diri manusia biasanya tidak lepas dari kurangnya pemaknaan diri, kurangnya
berfikir kritis filosofis terhadap diri manusia itu sendiri. Pengolahan bathin
dan olah rasa sehingga dapat menemukan hakikat manusia sebagaimana apa,
darimana dan mau kemana dapat dijawab dengan memahami diri sendiri. Fungsionalisasi
pendidikan Islam dalam pencapaian tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana
kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat
penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta.
Memahami manusia secara
hakikat tentu nantinya akan berdampak pada bagaimana agar pemahaman tersebut
berimplikasi pada pendidikan Islam. Sebab pendidikan Islam tidak boleh terlepas
dengan hal-hal yang bersifat filosofis, baik mengenai dirinya sendiri sebagai
manusia, juga tentang metode, sarana, dan lain sebagainya. Dengan demikian
pendidikan Islam akan menemukan muaranya, bagaimana memperlakukan manusia untuk
dididik memaksimalkan unsur-unsur manusianya agar nantinya menjadi manusia yang
siap menjadi khalifah dimuka bumi ini. Dengan berkembangkanya perilaku manusia
maka pendidikan harus dapat mensinergikan pemaknaan mendalam tentang manusia
tadi secara filosofis, dan makna empiris.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan manusia ?
2.
Bagaimana
proses penciptaannya?
3.
Apa
hakikat manusia dalam Islam?
4.
Apa
implikasi konsep manusia terhadap pendidikan Islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa pengertian manusia.
2.
Agar mengetahui bagaimana proses penciptaan manusia.
3.
Agar mengetahui apa hakikat manusia itu.
4.
Agar mengetahui apa implikasi memahami konsep
manusia terhadap pendidikan Islam.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Hakikat dan Manusia
Menurut bahasa hakikat
berarti kebenaran atau seesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu.
Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang
menjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah inti
dan jiwa dari suatu syariat itu sendiri. Dikalangan tasauf orang mencari
hakikat diri manusia yang sebenarnya karena itu muncul kata-kata diri mencari
sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati,
roh, nyawa, dan rahasia.
Manusia adalah makhluk
yang paling sempurna dibandingkan makhluk lain yang diciptakan leh Allah SWT.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Arabi “Tak ada makhluk Allah yang lebih
bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengethui, berkehendak, berbicara,
melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis
yang sangat penting karenanya dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi
mengemban tugas dan fungsinya.
B.
Proses Penciptaan Manusia
Al-qur’an menyatakan
proses penciptaan manusia dalam dua tahapan, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan
primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahapan primordial
maksudnya pada penciptaan nabi Adam A.S, yaitu diciptakan dari al-tin
(tanah), at-turab (tanah debu), min shal (tanah liat), min
hamain masnun (tanah lumpur itam yang busuk) yang dibentuk oleh Allah
dengan seindah-indahnya, kemudian Allah menuipkan ruh dari-Nya kedalam diri
(manusia) tersebut.
Hal tersebut diterangkan
dalam Al-qur’an surat An-naml :2, Al-hijr : 26-29, Al-Muminun: 12, Ar-rum:20,
Ar-rahman :4.
Kemudian pada tahap berikutnya yaitu melalui proses
biologis dan dapat dipahami secara sains empirik. Manusia diciptakan dari
intisari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam
tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian nutffah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang
menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut dijadikannya segumpal daging
(mudhgah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang, lalu kepadanya
ditiupkan ruh. (Q.S Al Mu’minun : 12-14). Kemudian diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, bahwa ruh dihembuskan Allah Swt kedalam janin setelah ia mengalami
perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah, dan 40 hari mudhgah.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Manusia
Perdebatan tentang
hakikat manusia dari dahulu sampai sekarang tidak pernah selesai. Beberapa
aliran muncul untuk menerjemahkan apa hakikat manusia itu dari beberapa
perspketif yang berdiri masing-masing dan bersifat argumentatif.
Pada dasarnya manusia
dapat dipandang dari beberapa sudut pandang dan keilmuan. Ilmu yang menyelidiki
dan memandang dari segi fisik adalah “Antropologi
Fisik”. Yang memandang manusia dari sudut budaya disebut “Antropologi Budaya”sedangkan yang
memandang manusia dari segi hakikatnya disebut “Antropologi Filsafat”.
Berbicara mengenai hakikat manusia itu
ada 4 aliran. Yaitu:
1.
Aliran Serba Zat, yaitu memandang segala sesuatu tentang manusia yang sunggung-sungguh ada hanyalah zat atau
materi. Oleh karenanya zat atau materi adalah hakikat. Manusia yang tercipta
dari sel telur dari sang ibu dan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin,
yang akhirnya dilahirkan ke dunia. Inilah hakikat manusia sebagai materi.
Adapun perasaan, tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi dan
penghayatan dipandang sebagai bagian dari materi yaitu sel-sel tubuh.
2.
Aliran Serba Ruh, yaitu memandang hakikat segala sesuatu dialam dunia
ini adalah “Ruh”. Begitu juga dengan
manusia, hakikatnya adalah “Ruh”.
Adapun materi dipandang sebagai manifestasi dari ruh diatas dunia ini.
Istilah
lain yang dipandang sama dengan ruh adalah jiwa, sukma, nyawa, semangat, dan
sebagainya.
3.
Aliran Dualisme, yaitu memandang bahwa antara”Materi” dan “Ruh”
keduanya saling berpautan, dimana tanpa ada salah satunya maka tidak bisa
disebut hakikat manusia. Karena keduanya merupakan substansi yang berdiri
sendiri dan tidak berasal dari salah satunya. Hanya saja dalam perwujudannya
manusia itu serba dua, jasad dan ruh. Keduanya memiliki hubungan yang bersifat
kausal atau sebab-akibat. Tidak dikatakan manusia jika ada materi tak ada ruh.
Dan juga bukan manusia jika ruh tanpa materi.
Perdebatan antara satu
aliran dengan aliran yang lainnya terus berkepanjangan. Orang belum merasa puas
dengan pandangan-pandangan diatas. Sehigga terus berkembanglah
pemikiran-pemikiran mendalam tentang hakikat manusia lebih lanjut. Kemudian
muncul lah aliran eksistensialisme dari ahli-ahli filsafat modern yang serius
degan tekun berpikir lebih anjut tentang hakikat manusia.
Lalu magaimana pandangan Islam tetang
hakikat manusia?
Menurut Prof. Ramayulis
hakikat manusia dapat ditinjau dari 4 sisi. Yaitu: dari nama yang digunakan, kemudian
dari kedudukan manusianya, lalu dari potensi yang diberikan kepada manusia itu
sendiri.
1)
Hakikat manusia ditinjau dari nama yang digunakan
Setidaknya ada 3 kata yang
digunakan dalam Al-qur’an untuk menunjukkan arti manusia, yaitu:
a.
Al-basyar
Al-basyar dinyatakan dalam
Al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologis al-basyar
berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh tempat tumbuhnya rambut. Maka makna
secara biologisnya dimana manusia didominasi dengan kulit dibandingkan rambut atau
bulunya, sedangkan hewan sebaliknya. Hewan sekujur tubuhnya didominasi oleh
bulu yang terlihat jelas ketimbang kulitnya.
Al-basyar diartikan juga sebagai
mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna
etimologisnya dipahamai bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala
sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan,
kebahagiaan, dan lain sebagainya.
b.
Al-insan
Kata al-insan berasal
dari kata al-uns dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 73 kali tersebar
dalam 43 surat. Secara etimologis al-insan dapat diartikan harmonis,
lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-insan digunakan al-qur’an
untuk meunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.
Perpaduan antara keduanya kemudian ditambah aspek-aspek yang melingkupi berupa
potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia menjadi makhluk yang pantas
menjadi khalifah di bumi.
Kemudian juga al-insan
dimaknai sebagai perpaduan antara fisik dan psikis untuk mengekspresikan
dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk budaya yang mampu
berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
peradaban, dan lain sebagainya.
Pada beberapa ayat Allah menyandingkan al-insan
dan syaithan. Seperti dalam surat yusuf / 12:5.
“Ayahnya
berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu.
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."
“dan
Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan
yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di
antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”
Ayat-ayat tersebut berisikan peringatan Allah agar manusia senantiasa
sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai dengan yang diinginkan Allah,
yaitu pada posisi yang hanif.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur”(An-nahl : 78)
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
(12)
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. (13) kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). (14) kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Al-mu’minun : 12-14)
Penggunaan kata Al-insan
dalam dua ayat diatas mengandung dua makna, yaitu: Pertama, makna proses biologic, yaitu berasal
dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia, sampai pada proses
pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual),
yaitu proses ditiupkannya ruh pada diri manusia berikut berbagai potensi yang
dianugerahkan Allah.
Manusia tidak bisa lepas dari pengaruh alam serta kebutuhannya yang serba
membutuhkan materi. Selain itu manusia dituntut untuk sadar, selain manusia
tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berusaha untuk memnuhinya
namun manusia ditunut untuk juga selalu sadar dan tidak melupakan tujuan
akhirnya.
c.
An-nas
An-nas disebutkan dalam al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53
surat. Kata an-nas menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial
secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. An-nas bermakna
lebih umum dibandingkan al-insan. Keumumannya digambarkan ahwa manusia
sebagai makhluk sosial dan banyak melakukan mafsadah.
Firman Allah Swt dalam surat Al-baqarah ayat 24.
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? `s9ur (#qè=yèøÿs? (#qà)¨?$$sù u$¨Z9$# ÓÉL©9$# $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÅsø9$#ur (
ôN£Ïãé& tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 ÇËÍÈ
“Maka jika kamu tidak dapat
membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu
dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi
orang-orang kafir”
d.
Bani Adam
Secara etimologi kata bani adam
menunjukkan keturunan nabi Adam A.S. kata ini dijumpai dalam al-qur’an sebanyak
7 kali tersebar dalam 3 surat. Menurut Thabathaba’I penggunaan bani adam
menunjuk pada arti manusiasecara umum. Dalam hal ini setidaknya dikaji dalam 3
aspek, yaitu:
Pertama,
anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentual Allah Swt, diantaranya
menggunakan pakaian untuk menutup aurat. Kedua, mengingatkan pada
keturunan adam agar jangan terjerumus dengan bujuk rayu syaitan yang mengajak
pada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada dialam semesta
dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.
2)
Hakikat manusia ditinjau dari kedudukan manusia
a.
Manusia
sebagai hamba Allah (abdullah)
Konsep ’abd mengacu pada tugas-tugas
individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam bentuk pengabdian ritual kepada
Allah SWT. Dengan penuh keikhlasan. Yang
meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam
menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam
semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakalah aktivitas itu memang
ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan redho-Nya.
b.
Manusia
sebagai khalifatullah fil ard
Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa yang
berarti mengganti dan melanjutkan. Jadi khalifah yaitu proses penggantian
antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagai seorang khalifah ia
berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia
menggantikan orang lain menggantikan kedudukann kepemimpinannya atau
kekuasaanya.
3)
Ditinjau dari potensi manusia:
a.
Potensi
rabbaniyah (sifat-sifat ketuhanan)
Menurut kejadian dan
asal mula manusia menurut Al-qur’an itu, Ali Sy’ri'ati, sejarawan dan ahli
sosiologi Islam, mngemukakan pendapatnya berupa interpretasi tentang hakikat
penciptaan manusia. Menurutnya, simbol penciptaan manusia dari tanah hitam
berarti mengandung dimensi kehinaan, kerendahan. Selain itu manusia juga memiliki
unsur keilahian (ketuhanan) yang tercermin dengan adanya ruh. Hakikat
inilah maka manusia memiliki potensi untuk dapat memiliki derajat yang tinggi,
tetapi pada saat yang lain dapat meluncur kedalam derajat kehinaan.
Materi berasal dari
alam sedangkan ruh berasal dari tuhan. Maka hakikat manusia itu sebenarnya ada
pada ruhnya, sedangkan jasad adalah hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh
untuk menjalani kehidupan material, dialam yang material, bersifat sekunder dan
ruh adalah yang primer. Karena ruh tanpa jasad tidak dapat dinamakan manusia,
begitu pula sebaliknya. Maka manusia tanpa ruh tidak lebih dari hewan.
b.
Potensi
diniyah (potensi beragama)
Potensi ini bermula ketika Allah SWT mengmbilkan
kesaksian kepada ruh, ketika ruh berada di alam arwah sebelum ruh ditiupkan ke
dalam setiap tubuh manusia di dalalm rahim. Maka pendidikan islam dituntut
untuk menuntut peserta didik untuk mentauhidkan Allah dan tidak bertentangan
dengan ajatran agama.
c.
Potensi
Hissiyah (potensi emosional)
Potensi emosional manusia,
dengan media internalnya adalah al-Qalb dan media eksternalnya telinga untuk
mendengar. Adanya potensi emosional, menyadarkan pendidik agar dapat
mengembangkan kecerdasan emosional yang terdapat di otak kanan sehingga
terciptalah peserta uang halus perkataannya dan baik budi pekertinya.
Menurut Harun Nasution,
unsur materi manusia mempunyai daya fisik, seperti mendengar, melihat, merasa,
meraba, mencium dan daya gerak.
Sementara unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir dan
daya rasa. Untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam dengan selalu
berfikir dan penalaran. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat
dipertajam dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Konsep ini membawa
konsekwensi bahwa secara filosofis pendidikan Islam seyogyanya merupakan
kesatuan pendidikan Qolbiyah dan Aqliyah agar tercipta
manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh sesuai dengan filsafat
penciptaannya.
Adapun menurut Abdul Fatah
Jalal dalam bukunya minal ushul at-tarbawiyah al-islamiyah telah mengkaji dalam
al-qur’an alat potensial yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk meraih
ilmu pengetahuan. yaitu: Al-lams dan Al-syum (alat peraba dan alat
penciuman), al-sam’u (alat pendengaran), al-abshor (penglihatan),
al-aql (akal), al-qalb (hati).
Manusia dengan kelengkapan jasmani dan rohani dapat
melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan kelengkapan jasamaninya ia dapat melaksanak
tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan kelengkapan rohaninya
ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang dapat berfungsi dengan baik dan
produktif maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hal ini pendidikan
memegang peranan yang amat penting.
d.
Potensi
Intelektual
Potensi intelektual dengan media internalnya akal
untuk berfikir dan mata untuk melihat sebagai media eksternal. Dengan adanya
potensi ini diharapkan peserta didik untuk menjadi seorang yang ulul al-bab
atau seorang cendekiawan muslim.
e.
Potensi
Biologis
Potensi biologis
manusia dengan media internalnya nafsu makan dan minum serta nafsu syahwat,
sedangkan mulut, lambung dan alat vital sebagai media eksternalnya. Dengan
adanya potensi biologis menyadarkan kepada pendidik agar dapat mengarahkan
nafsu peserta didik kepada aktivitas yang positif dan hendaknya peserta dapat
menjaga dirinya dari pengaruh hawa nafsu dimana pun ia berada.
Manusia memiliki 5
tahapan kehidupan, yang masing-masing disebut sebagai alam. Yaitu: (1) Alam
ghaib (2) Alam rahim (3) Alam Dunia (4) Alam barzakh (5) Alam akhirat.
Hidup dialam dunia adalah proses yang paling menentukan (melalui iman, takwa,
amal dan sikap) kemudian selanjutnya tempat nya di akhirat nanti. Karena
pentingnya kehidupan manusia di dunia maka selama hayatnya di alam fana ini,
manusia dibekali dengan agama. Sebab menurut Quraish Shihab dengan diberikan
macam-macam potensi dan diberikan pula kesadaran moral mana yang baik dan mana
pula yang buruk sesuai dengan hati nuraninya sesuai dengan wahyu. Maka manusia
diberikan kebebasan serta kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya
masing-masing. Jadi sebagai manusia
hendaknyalah selama hidupnya memaksimalkan seluruh potensi untuk senantiasa
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
B.
Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan Islam umumnya sependapat bahwa
teori dan praktek kependidikan Islam
harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan seputas
persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut
ali As-shraf, pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih
dahulu memahami Islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
Setidaknya ada 2 implikasi penting dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam, yaitu:
1.
Karena
manusia merupakan resultan dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi
itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan
komponen-komponen tersebut. Sistem pendidikan Islam harus dibangun diatas
konsep kesatuan, integrasi antara pendidikan Qolbiyah dan pendidikan
Aqliyah.
2.
Al-qur’an
mengatakan bahwa fungsi diciptakannya manusia dibumi adalah sebagai
khalifatan fil ard atau ‘abd. Untuk melaksanakan fungsinya Allah
membekali dengan segala macam potensinya. Oleh karenanya pendidikan Islam harus
diarahkan untuk mengembangkan potensinya agar berdampak konkret memakmurkan
alam raya ini.
Agar pendidikan umat
berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi
penciptaanya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan
teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan
rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula bahwa pendekatan keilmuan
dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar pesan-pesan tuhan (Qur’aniyah),
maupun ayat-ayatnya yang bersifat kontekstual (Kauniyah) yang telah
dijabarkannya melalui sunnatullah.
Mengutip dari pendapat
Prof. Dr. Zakiyah Drajat dalam mengklasifikasikan beberapa dimensi penting
manusia sebagai landasan dalam pendidikan Islam. Yaitu: Dimensi fisik, dimensi
akal, dimensi Iman, dimensi Akhlak, dimensi kejiwaan, dimensi keindahan, dimensi
sosial kemasyarakatan.
Menurut pemakalah hal
ini dapat diartikan sebagai hakikat manusia yang kemudian bisa diaplikasikan
dalam dunia pendidikan. Melalui dimensi fisik pendidikan agama dapat pula
memaksimalkan yang disebut juga dengan kesehatan jasmani. Melalui dimensi akal
manusia dapat dimaksimalkan fungsi akalnya untuk menjadi makhluk berilmu
pengetahuan. Melalui dimensi iman manusia seharusnya pula dilengkapi dengan
nilai-nilai religius dalam tumbuh kembang kepribadiannya. Melalui dimensi
akhlak manusia diajarkan berperilaku yang padu antara hati nurani, pikiran,
perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu yang dapat dihayati dalam
keseharian. Melalui dimensi kejiwaan manusia senantiasa diajarkan tentang hidup
tentram, dan bahagia. Dan dengan dimensi keindahan manusia diajarkan mengenal
estetika kehidupan. Sedangkan dengan dimensi sosial-kemasyarakatan manusia
senantiasa diajarkan tentang saling tolong menolong antar sesama manusia agar
terciptanya kehidupan yang harmonis. Demikian itulah hakikat manusia yang dapat
diterapkan dalam kehidupan dan dalam proses pendidikan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian manusia
digambarkan oleh Al-qur’an kedalam 4 kata, yaitu : Al-basyar, Al-insan,
An-nas, dan Bani adam. Masing masing disebutkan didalam Alqur’an dan
memiliki tinjauan makna yang berbeda.
Al-qur’an menyatakan proses penciptaan manusia dalam
dua tahapan, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan primordial.
Kedua, disebut dengan tahapan biologis. Tahapan primordial maksudnya pada
penciptaan nabi Adam A.S, yaitu diciptakan dari al-tin (tanah), at-turab
(tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah
lumpur itam yang busuk) yang dibentuk oleh Allah dengan seindah-indahnya,
kemudian Allah menuipkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut. Kemudian
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa ruh dihembuskan Allah Swt kedalam
janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah,
dan 40 hari mudhgah.
Hakikat manusia dapat
ditinjau dari 4 sisi. Yaitu: dari nama yang digunakan, kemudian dari kedudukan
manusianya, dan dari potensi yang diberikan kepada manusia itu sendiri. Hakikat
manusia jika dilihat dari nama yang digunakan, manusia sebagai al-basyar,
al-insan, an-nas, dan bani adam. Sedangkan jikaditinjau dari
kedudukan manusianya yaitu sebagai khalifatullah fil ard dan abdullah (hamba Allah). Selain itu hakikat manusia
juga dapat ditinjau dari potensi , manusianya, yaitu Potensi Rabbaniyyah-nya,
Potensi Diniyah, Potensi Hissiyah.
Setidaknya
ada 2 implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
Manusia merupakan
resultan dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu
menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi. Manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan dibekali potensi.
Sebagai seorang pendidik harus dapat memaksimalkanseluruh potensi tersebut agar
peserta didik nantinya bisa menjadi hamba yang layak disebut khalifah dalam
arti sebenarnya. Al-qur’an mengatakan
bahwa fungsi diciptakannya manusia dibumi adalah sebagai khalifatan fil ard atau
‘abd. Oleh karenanya pendidikan Islam harus diarahkan untuk
mengembangkan potensinya agar berdampak konkret memakmurkan alam raya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. jakarta: Kalam
Mulia,