Manusia Dalam Pespektif Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan melalui proses primordial yaitu diawali dengan diciptakannya nabi Adam A.S. Dalam proses perkebangan berikutnya barulah melalui proses biologis. Proses demi proses penciptaan manusia yang berawal dari tanah liat yang hitam dan busuk itu tentunya tidak memiliki nilai apa-apa jika dipandang dari sisi materi. Namun jika kita melihat manusia sebagai materi yang juga didalamnya terdapat unsur immateri (ruh) maka maknanya akan berbeda dan tentunya lebih tinggi nilainya.
Manusia ditugaskan dimuka bumi sebagai khalifah.[1] Manusia dengan segala macam potensinya berupa daya akal yang diberikan kepadanya diharapkan mampu mengelola bumi, menciptakan peradaban-peradaban, membangun dan mengembangkan keilmuan dan lain sebagainya. Namun manusia juga memiliki tantangan, yaitu dengan diberikannya nafsu sering kali manusia lupa dan melakukan banyak kemaksiatan yang justru tidak mensejahterkan bumi, bukan menciptakan kebudayaan-kebudayaan malah justru melakukan pengerusakan.
Dalam mata kuliah filsafat pendidikan Islam, khusus pada pembahasan “Hakikat Manusia Dalam Perspektif Islam” kita akan mendalami apa yang dimaksud dengan manusia itu, baik ditinjau dari pengertian secara harfiahnya dan pengertian secara luasnya. Selain itu juga kita akan mengupas bagaimana proses penciptaan manusia, sehingga dengan kita mengetahui prosesnya kita dapat memaknai manusia lebih dari sekedar seonggok daging dan tulang yang berjalan. Terdapat makna-makna filosofis yang mendalam artinya. Membutuhkan perenungan tentang hakikat manusia, agar kita mampu mengejawantahkan ketinggian nilai manusia dalam mensejahterakan bumi, dan mengambil peranan-peranan penting.
Masalah yang tumbuh dalam diri manusia biasanya tidak lepas dari kurangnya pemaknaan diri, kurangnya berfikir kritis filosofis terhadap diri manusia itu sendiri. Pengolahan bathin dan olah rasa sehingga dapat menemukan hakikat manusia sebagaimana apa, darimana dan mau kemana dapat dijawab dengan memahami diri sendiri. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam pencapaian tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta.[2]
Memahami manusia secara hakikat tentu nantinya akan berdampak pada bagaimana agar pemahaman tersebut berimplikasi pada pendidikan Islam. Sebab pendidikan Islam tidak boleh terlepas dengan hal-hal yang bersifat filosofis, baik mengenai dirinya sendiri sebagai manusia, juga tentang metode, sarana, dan lain sebagainya. Dengan demikian pendidikan Islam akan menemukan muaranya, bagaimana memperlakukan manusia untuk dididik memaksimalkan unsur-unsur manusianya agar nantinya menjadi manusia yang siap menjadi khalifah dimuka bumi ini. Dengan berkembangkanya perilaku manusia maka pendidikan harus dapat mensinergikan pemaknaan mendalam tentang manusia tadi secara filosofis, dan makna empiris.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah  yang dimaksud dengan manusia ?
2.      Bagaimana proses penciptaannya?
3.      Apa hakikat manusia dalam Islam?
4.      Apa implikasi konsep manusia terhadap pendidikan Islam?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian manusia.
2.      Agar mengetahui bagaimana proses penciptaan manusia.
3.      Agar mengetahui apa hakikat manusia itu.
4.      Agar mengetahui apa implikasi memahami konsep manusia terhadap pendidikan Islam.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Hakikat dan Manusia
Menurut bahasa hakikat berarti kebenaran atau seesuatu yang sebenar-benarnya atau asal segala sesuatu. Dapat juga dikatakan hakikat itu adalah inti dari segala sesuatu atau yang menjadi jiwa sesuatu. Karena itu dapat dikatakan hakikat syariat adalah inti dan jiwa dari suatu syariat itu sendiri. Dikalangan tasauf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya karena itu muncul kata-kata diri mencari sebenar-benar diri. Sama dengan pengertian itu mencari hakikat jasad, hati, roh, nyawa, dan rahasia.[3]
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk lain yang diciptakan leh Allah SWT. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Arabi “Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengethui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting karenanya dilengkapi dengan semua pembawaan  dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya.[4]

B.     Proses Penciptaan Manusia
Al-qur’an menyatakan proses penciptaan manusia dalam dua tahapan, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahapan primordial maksudnya pada penciptaan nabi Adam A.S, yaitu diciptakan dari al-tin (tanah), at-turab (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur itam yang busuk) yang dibentuk oleh Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah menuipkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut.
Hal tersebut diterangkan dalam Al-qur’an surat An-naml :2, Al-hijr : 26-29, Al-Muminun: 12, Ar-rum:20, Ar-rahman :4. 
Kemudian pada tahap berikutnya yaitu melalui proses biologis dan dapat dipahami secara sains empirik. Manusia diciptakan dari intisari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian nutffah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut dijadikannya segumpal daging (mudhgah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang, lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S Al Mu’minun : 12-14). Kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa ruh dihembuskan Allah Swt kedalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah, dan 40 hari mudhgah.[5]  












BAB III
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Manusia
Perdebatan tentang hakikat manusia dari dahulu sampai sekarang tidak pernah selesai. Beberapa aliran muncul untuk menerjemahkan apa hakikat manusia itu dari beberapa perspketif yang berdiri masing-masing dan bersifat argumentatif.
Pada dasarnya manusia dapat dipandang dari beberapa sudut pandang dan keilmuan. Ilmu yang menyelidiki dan memandang dari segi fisik adalah “Antropologi Fisik”. Yang memandang manusia dari sudut budaya disebut “Antropologi Budaya”sedangkan yang memandang manusia dari segi hakikatnya disebut “Antropologi Filsafat”.
Berbicara mengenai hakikat manusia itu ada 4 aliran[6]. Yaitu:
1.      Aliran Serba Zat, yaitu memandang segala sesuatu tentang manusia yang sunggung-sungguh ada hanyalah zat atau materi. Oleh karenanya zat atau materi adalah hakikat. Manusia yang tercipta dari sel telur dari sang ibu dan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin, yang akhirnya dilahirkan ke dunia. Inilah hakikat manusia sebagai materi. Adapun perasaan, tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi dan penghayatan dipandang sebagai bagian dari materi yaitu sel-sel tubuh.
2.      Aliran Serba Ruh, yaitu memandang hakikat segala sesuatu dialam dunia ini adalah “Ruh”. Begitu juga dengan manusia, hakikatnya adalah “Ruh”. Adapun materi dipandang sebagai manifestasi dari ruh diatas dunia ini.
Istilah lain yang dipandang sama dengan ruh adalah jiwa, sukma, nyawa, semangat, dan sebagainya.
3.      Aliran Dualisme, yaitu memandang bahwa antara”Materi” dan “Ruh” keduanya saling berpautan, dimana tanpa ada salah satunya maka tidak bisa disebut hakikat manusia. Karena keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri dan tidak berasal dari salah satunya. Hanya saja dalam perwujudannya manusia itu serba dua, jasad dan ruh. Keduanya memiliki hubungan yang bersifat kausal atau sebab-akibat. Tidak dikatakan manusia jika ada materi tak ada ruh. Dan juga bukan manusia jika ruh tanpa materi.
Perdebatan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya terus berkepanjangan. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan diatas. Sehigga terus berkembanglah pemikiran-pemikiran mendalam tentang hakikat manusia lebih lanjut. Kemudian muncul lah aliran eksistensialisme dari ahli-ahli filsafat modern yang serius degan tekun berpikir lebih anjut tentang hakikat manusia.
Lalu magaimana pandangan Islam tetang hakikat manusia?
Menurut Prof. Ramayulis hakikat manusia dapat ditinjau dari 4 sisi. Yaitu: dari nama yang digunakan, kemudian dari kedudukan manusianya, lalu dari potensi yang diberikan kepada manusia itu sendiri.[7]
1)      Hakikat manusia ditinjau dari nama yang digunakan
Setidaknya ada 3 kata yang digunakan dalam Al-qur’an untuk menunjukkan arti manusia, yaitu[8]:
a.      Al-basyar
Al-basyar dinyatakan dalam Al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologis al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh tempat tumbuhnya rambut. Maka makna secara biologisnya dimana manusia didominasi dengan kulit dibandingkan rambut atau bulunya, sedangkan hewan sebaliknya. Hewan sekujur tubuhnya didominasi oleh bulu yang terlihat jelas ketimbang kulitnya.
Al-basyar diartikan juga sebagai mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna etimologisnya dipahamai bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. 
b.      Al-insan
Kata al-insan berasal dari kata al-uns dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 73 kali tersebar dalam 43 surat. Secara etimologis al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-insan digunakan al-qur’an untuk meunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara keduanya kemudian ditambah aspek-aspek yang melingkupi berupa potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia menjadi makhluk yang pantas menjadi khalifah di bumi.
Kemudian juga al-insan dimaknai sebagai perpaduan antara fisik dan psikis untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk budaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya.
Pada beberapa ayat Allah menyandingkan al-insan dan syaithan. Seperti dalam surat yusuf / 12:5.
“Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."
“dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”
Ayat-ayat tersebut berisikan peringatan Allah agar manusia senantiasa sadar dan menempatkan posisi fitrahnya sesuai dengan yang diinginkan Allah, yaitu pada posisi yang hanif.
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”(An-nahl : 78)
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
(12) dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (13) kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (14) kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Al-mu’minun : 12-14)
Penggunaan kata Al-insan dalam dua ayat diatas mengandung dua makna, yaitu: Pertama,  makna proses biologic, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia, sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkannya ruh pada diri manusia berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah.[9] Manusia tidak bisa lepas dari pengaruh alam serta kebutuhannya yang serba membutuhkan materi. Selain itu manusia dituntut untuk sadar, selain manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berusaha untuk memnuhinya namun manusia ditunut untuk juga selalu sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya.
c.       An-nas
An-nas disebutkan dalam al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata an-nas menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. An-nas bermakna lebih umum dibandingkan al-insan. Keumumannya digambarkan ahwa manusia sebagai makhluk sosial dan banyak melakukan mafsadah.
Firman Allah Swt dalam surat Al-baqarah ayat 24.
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? `s9ur (#qè=yèøÿs? (#qà)¨?$$sù u$¨Z9$# ÓÉL©9$# $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÅsø9$#ur ( ôN£Ïãé& tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 ÇËÍÈ  
“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”
d.      Bani Adam
Secara etimologi kata bani adam menunjukkan keturunan nabi Adam A.S. kata ini dijumpai dalam al-qur’an sebanyak 7 kali tersebar dalam 3 surat. Menurut Thabathaba’I penggunaan bani adam menunjuk pada arti manusiasecara umum. Dalam hal ini setidaknya dikaji dalam 3 aspek, yaitu:
Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentual Allah Swt, diantaranya menggunakan pakaian untuk menutup aurat. Kedua, mengingatkan pada keturunan adam agar jangan terjerumus dengan bujuk rayu syaitan yang mengajak pada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada dialam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.[10]

2)      Hakikat manusia ditinjau dari kedudukan manusia
a.       Manusia sebagai hamba Allah (abdullah)
Konsep ’abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT. Dengan penuh keikhlasan. Yang  meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakalah aktivitas itu memang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan redho-Nya.[11]
b.      Manusia sebagai khalifatullah fil ard
Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan. Jadi khalifah yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan orang lain menggantikan kedudukann kepemimpinannya atau kekuasaanya.[12]



3)      Ditinjau dari potensi manusia:
a.       Potensi rabbaniyah (sifat-sifat ketuhanan)
Menurut kejadian dan asal mula manusia menurut Al-qur’an itu, Ali Sy’ri'ati, sejarawan dan ahli sosiologi Islam, mngemukakan pendapatnya berupa interpretasi tentang hakikat penciptaan manusia. Menurutnya, simbol penciptaan manusia dari tanah hitam berarti mengandung dimensi kehinaan, kerendahan. Selain itu manusia juga memiliki unsur keilahian (ketuhanan) yang tercermin dengan adanya ruh. Hakikat inilah maka manusia memiliki potensi untuk dapat memiliki derajat yang tinggi, tetapi pada saat yang lain dapat meluncur kedalam derajat kehinaan.[13]
Materi berasal dari alam sedangkan ruh berasal dari tuhan. Maka hakikat manusia itu sebenarnya ada pada ruhnya, sedangkan jasad adalah hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material, dialam yang material, bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer. Karena ruh tanpa jasad tidak dapat dinamakan manusia, begitu pula sebaliknya. Maka manusia tanpa ruh tidak lebih dari hewan.
b.      Potensi diniyah (potensi beragama)
Potensi ini bermula ketika Allah SWT mengmbilkan kesaksian kepada ruh, ketika ruh berada di alam arwah sebelum ruh ditiupkan ke dalam setiap tubuh manusia di dalalm rahim. Maka pendidikan islam dituntut untuk menuntut peserta didik untuk mentauhidkan Allah dan tidak bertentangan dengan ajatran agama.
c.       Potensi Hissiyah (potensi emosional)
Potensi emosional manusia, dengan media internalnya adalah al-Qalb dan media eksternalnya telinga untuk mendengar. Adanya potensi emosional, menyadarkan pendidik agar dapat mengembangkan kecerdasan emosional yang terdapat di otak kanan sehingga terciptalah peserta uang halus perkataannya dan baik budi pekertinya.
Menurut Harun Nasution, unsur materi manusia mempunyai daya fisik, seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak.  Sementara unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir dan daya rasa. Untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam dengan selalu berfikir dan penalaran. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Konsep ini membawa konsekwensi bahwa secara filosofis pendidikan Islam seyogyanya merupakan kesatuan pendidikan Qolbiyah dan Aqliyah agar tercipta manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh sesuai dengan filsafat penciptaannya.[14]
Adapun menurut Abdul Fatah Jalal dalam bukunya minal ushul at-tarbawiyah al-islamiyah telah mengkaji dalam al-qur’an alat potensial yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk meraih ilmu pengetahuan. yaitu: Al-lams dan Al-syum (alat peraba dan alat penciuman), al-sam’u (alat pendengaran), al-abshor (penglihatan), al-aql (akal), al-qalb (hati).[15]
Manusia dengan kelengkapan jasmani dan rohani dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan kelengkapan jasamaninya ia dapat melaksanak tugas-tugasnya yang memerlukan dukungan fisik, dan dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang dapat berfungsi dengan baik dan produktif maka perlu dibina dan diberikan bimbingan. Dalam hal ini pendidikan memegang peranan yang amat penting.[16]


d.      Potensi Intelektual
Potensi intelektual dengan media internalnya akal untuk berfikir dan mata untuk melihat sebagai media eksternal. Dengan adanya potensi ini diharapkan peserta didik untuk menjadi seorang yang ulul al-bab atau seorang cendekiawan muslim.
e.       Potensi Biologis
Potensi biologis manusia dengan media internalnya nafsu makan dan minum serta nafsu syahwat, sedangkan mulut, lambung dan alat vital sebagai media eksternalnya. Dengan adanya potensi biologis menyadarkan kepada pendidik agar dapat mengarahkan nafsu peserta didik kepada aktivitas yang positif dan hendaknya peserta dapat menjaga dirinya dari pengaruh hawa nafsu dimana pun ia berada.
Manusia memiliki 5 tahapan kehidupan, yang masing-masing disebut sebagai alam. Yaitu: (1) Alam ghaib (2) Alam rahim (3) Alam Dunia (4) Alam barzakh (5) Alam akhirat. Hidup dialam dunia adalah proses yang paling menentukan (melalui iman, takwa, amal dan sikap) kemudian selanjutnya tempat nya di akhirat nanti. Karena pentingnya kehidupan manusia di dunia maka selama hayatnya di alam fana ini, manusia dibekali dengan agama. Sebab menurut Quraish Shihab dengan diberikan macam-macam potensi dan diberikan pula kesadaran moral mana yang baik dan mana pula yang buruk sesuai dengan hati nuraninya sesuai dengan wahyu. Maka manusia diberikan kebebasan serta kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing.[17] Jadi sebagai manusia hendaknyalah selama hidupnya memaksimalkan seluruh potensi untuk senantiasa bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.


B.     Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan Islam umumnya sependapat bahwa teori  dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan seputas persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut ali As-shraf, pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami Islam tentang pengembangan individu seutuhnya.[18]
Setidaknya ada 2 implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
1.      Karena manusia merupakan resultan dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistem pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep kesatuan, integrasi antara pendidikan Qolbiyah dan pendidikan Aqliyah.
2.      Al-qur’an mengatakan bahwa fungsi diciptakannya manusia dibumi adalah sebagai khalifatan fil ard atau ‘abd. Untuk melaksanakan fungsinya Allah membekali dengan segala macam potensinya. Oleh karenanya pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan potensinya agar berdampak konkret memakmurkan alam raya ini.[19]
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini harus difahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar pesan-pesan tuhan (Qur’aniyah), maupun ayat-ayatnya yang bersifat kontekstual (Kauniyah) yang telah dijabarkannya melalui sunnatullah.[20]
Mengutip dari pendapat Prof. Dr. Zakiyah Drajat dalam mengklasifikasikan beberapa dimensi penting manusia sebagai landasan dalam pendidikan Islam. Yaitu: Dimensi fisik, dimensi akal, dimensi Iman, dimensi Akhlak, dimensi kejiwaan, dimensi keindahan, dimensi sosial kemasyarakatan.[21]
Menurut pemakalah hal ini dapat diartikan sebagai hakikat manusia yang kemudian bisa diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Melalui dimensi fisik pendidikan agama dapat pula memaksimalkan yang disebut juga dengan kesehatan jasmani. Melalui dimensi akal manusia dapat dimaksimalkan fungsi akalnya untuk menjadi makhluk berilmu pengetahuan. Melalui dimensi iman manusia seharusnya pula dilengkapi dengan nilai-nilai religius dalam tumbuh kembang kepribadiannya. Melalui dimensi akhlak manusia diajarkan berperilaku yang padu antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu yang dapat dihayati dalam keseharian. Melalui dimensi kejiwaan manusia senantiasa diajarkan tentang hidup tentram, dan bahagia. Dan dengan dimensi keindahan manusia diajarkan mengenal estetika kehidupan. Sedangkan dengan dimensi sosial-kemasyarakatan manusia senantiasa diajarkan tentang saling tolong menolong antar sesama manusia agar terciptanya kehidupan yang harmonis. Demikian itulah hakikat manusia yang dapat diterapkan dalam kehidupan dan dalam proses pendidikan.




BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian manusia digambarkan oleh Al-qur’an kedalam 4 kata, yaitu : Al-basyar, Al-insan, An-nas, dan Bani adam. Masing masing disebutkan didalam Alqur’an dan memiliki tinjauan makna yang berbeda.
Al-qur’an menyatakan proses penciptaan manusia dalam dua tahapan, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologis. Tahapan primordial maksudnya pada penciptaan nabi Adam A.S, yaitu diciptakan dari al-tin (tanah), at-turab (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur itam yang busuk) yang dibentuk oleh Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah menuipkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut. Kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa ruh dihembuskan Allah Swt kedalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah, dan 40 hari mudhgah.  
Hakikat manusia dapat ditinjau dari 4 sisi. Yaitu: dari nama yang digunakan, kemudian dari kedudukan manusianya, dan dari potensi yang diberikan kepada manusia itu sendiri. Hakikat manusia jika dilihat dari nama yang digunakan, manusia sebagai al-basyar, al-insan, an-nas, dan bani adam. Sedangkan jikaditinjau dari kedudukan manusianya yaitu sebagai khalifatullah fil ard dan abdullah  (hamba Allah). Selain itu hakikat manusia juga dapat ditinjau dari potensi , manusianya, yaitu Potensi Rabbaniyyah-nya, Potensi Diniyah, Potensi Hissiyah.

Setidaknya ada 2 implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:
Manusia merupakan resultan dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi. Manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan dibekali potensi. Sebagai seorang pendidik harus dapat memaksimalkanseluruh potensi tersebut agar peserta didik nantinya bisa menjadi hamba yang layak disebut khalifah dalam arti sebenarnya. Al-qur’an mengatakan bahwa fungsi diciptakannya manusia dibumi adalah sebagai khalifatan fil ard atau ‘abd. Oleh karenanya pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan potensinya agar berdampak konkret memakmurkan alam raya ini.

















DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. jakarta: Kalam Mulia,
Zuhairini. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Nata, Abudin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama
QS. Al-an’am, 6:165, QS. Fathir, 35:39, QS. Al-A’raf, 7:69
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Zuhairini. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Al-Rasyidin. Nizar, Samsul. 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press
Mohammad Daud Ali. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muhaimin. 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
Nata, Abudin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama
Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam. JakartaPustaka Progresif
Ramayulis, 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Drajat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV Ruhama



[1] QS. Al-an’am, 6:165, QS. Fathir, 35:39, QS. Al-A’raf, 7:69
[2] Prof. Dr. Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2015, hlm. 90
[4] Prof. DR. H Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2011, hlm. 47
[5] Prof. DR. H Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Kalam Mulia, jakarta, 2011, hlm. 81
[6] Dra. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 2009, hlm 71-72
[7] Prof. Dr. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2014, 1-23
[8] Ibid, hlm. 48-57
[9] Ibid, hlm. 53
[10] Ibid, hlm. 55
[11] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press:  Jakarta, hal: 19
[12] Ramayulis, Filsafat Penddikan Islam,.. hlm. 9
[13] Prof. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1998, hlm. 24
[14] Ibid, hlm. 57
[15] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung: 2004, hlm. 12-13
[16] Prof. DR. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta: 2005,  hlm. 88
[17] Prof. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam,..hlm. 31-34

[18] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Progresif, Jakarta: 1989, hlm. 1
[19] Prof. DR. H Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2011, hlm. 62
[20] Ibid, hlm. 63
[21] Prof. Dr. Zakiyah Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, CV Ruhama, Jakarta, 1995, hlm. 1-19